07 OKTOBER 1527
HARI JADI KABUPATEN INDRAMAYU
Menurut Tim Panitia Peneliti Sejarah Kabupaten Indramayu, sebagaimana dikutip dari laman wikipedia.org, bahwa hari jadi Indramayu jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 yang telah disahkah pada sidang Pleno DPRD Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu pada tanggal 24 Juni 1977 dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu. Penetapan itu ditetapkan pada Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 1977 tentang Penetapan Hari Jadi Indramayu, dimana dalam Peraturan Daerah tersebut disebutkan bahwa hari jadi Indramayu ditetapkan jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 yang jatuh pada hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharam 934 H. Dalam menentukan hari jadi tersebut tim panitia peneliti sejarah Indramayu berpegang pada sebuah patokan peninggalan jaman dulu dan atas dasar beberapa fakta sejarah yang ada, yaitu prasasti, penulisan-penulisan masa lalu, benda-benda purbakala/benda pusaka, legenda rakyat serta tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
HARI JADI KABUPATEN INDRAMAYU
Menurut Tim Panitia Peneliti Sejarah Kabupaten Indramayu, sebagaimana dikutip dari laman wikipedia.org, bahwa hari jadi Indramayu jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 yang telah disahkah pada sidang Pleno DPRD Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu pada tanggal 24 Juni 1977 dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu. Penetapan itu ditetapkan pada Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 1977 tentang Penetapan Hari Jadi Indramayu, dimana dalam Peraturan Daerah tersebut disebutkan bahwa hari jadi Indramayu ditetapkan jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 yang jatuh pada hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharam 934 H. Dalam menentukan hari jadi tersebut tim panitia peneliti sejarah Indramayu berpegang pada sebuah patokan peninggalan jaman dulu dan atas dasar beberapa fakta sejarah yang ada, yaitu prasasti, penulisan-penulisan masa lalu, benda-benda purbakala/benda pusaka, legenda rakyat serta tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Menurut Babad Dermayu penghuni partama daerah Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari Bagelen Jawa Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra. Pada saat bertapa, Wiralodra medapat wangsit supaya mencari lembah Sungai Cimanuk jika ingin ia dan anak keturunannya berbahagia. Kemudian Wirralodra didampingi Ki Tinggil berangkat ke arah timur laut mencari lembah ini, dan mendirikan pedukuhan Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin hari makin banyak penghuninya, diantara penduduk ada seorang wanita cantik paripurna bernama Nyi Endang Darma. Ia terkenal dengan kehebatan ilmu kanuragannya dan mampu menumbangkan banyak lawan. Hingga suatu hari Raden Wiralodra mengajak berduel Nyi Endang Darma, namun kali ini Nyi Endang Darma kalah. Untuk mengakui kekalahannya Nyi Endang Darma terjun ke Sungai Cimanuk.
Meski telah dibujuk Raden Wiralodra guna melanjutkan pembangunan Padukuhan Cimanuk, ia menolak dan berpesan agar pedukuhan tersebut kelak jika telah maju agar diberi nama dengan namanya. Sehingga untuk mengenang jasa Nyi Endang Darma, orang yang telah ikut membangun pedukuhan tersebut, maka pedukuhan ini diberi nama “DARMA AYU” yang di kemudian hari menjadi “INDRAMAYU”. Berdirinya pedukuhan Darma Ayu memang tidak jelas tanggal dan tahunnya namun berdasarkan fakta sejarah Tim Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada jum’at kliwon, 1 sura 1449 atau 1 Muharam 934 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527. Cerita pedukuhan Darma Ayu adalah salah satu catatan sejarah daerah Indramayu.
07 OKTOBER 1945
PERISTIWA SERBUAN KOTABARU
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, sebagaimana dikutip dari laman goodnewsfromindonesia.id, badan-badan perjuangan terbentuk di berbagai daerah demi melawan tentara Jepang maupun Sekutu. Salah satu bentrokan dengan tentara Jepang terjadi di Kotabaru, Yogyakarta, pada 7 Oktober 1945. Dua hari sebelumnya, para pejuang merebut gedung Cokan Kantai dan dijadikan sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah. Gedung Cokan Kantai ini kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung. Sehari setelahnya, rapat perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru dilakukan. Perundingan dengan Butaico (Angkatan Pertahanan Jepang) Mayor Otsuka, Kenpeitai (Polisi Militer) Sasaki, Kapten Ito dan Kiambuco lantas dilakukan Mohammad Saleh (KNI), R.P. Sudarsono dan Bardosono atas nama Badan Keamanan Rakyat (BKR) di markas Osha Butai, tujuannya agar Jepang menyerahkan senjata dan kekuasaannya dengan sukarela.
Satu hari setelah perebutan Gedung Cokan Kantai, para pejuang ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru. Pada 6 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak Indonesia dengan Jepang. Perundingan itu diadakan didalam markas Osha Butai di Kotabaru. Namun perundingan berjalan buntu. Dentuman granat yang terdengar pukul 20.00 WIB pada 6 Oktober, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal. Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Bahkan di kampung-kampung, malam itu dilakukan persiapan pengerahan massa pemuda dengan suara siap-siap secara estafet. Dalam waktu singkat telah berkumpul banyak pemuda dan terus bergerak menuju Kotabaru.Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru.
Rakyat dan Pemuda dengan senjata seperti parang dan bambu runcing sudah siap, tinggal menunggu komando. Sebagai bagian dari strategi penyerbuan para pemuda telah memutuskan sambungan telepon, kemudian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, maka sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terdengar lagi dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan. Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah pertempuran di Kotabaru. Dengan demikian, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda dan kesatuan di Yogyakarta melawan tentara Jepang. Ternyata Butaico Kotabaru menolak untuk menyerah. Akibat serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan. Jepang mulai kewalahan kemudian mengadakan kontak kepada pihak para pejuang Indonesia untuk berdamai. Para pejuang Indonesia boleh memasuki markas.
Setelah pintu itu dibuka, maka para pemuda pejuang memasuki pintu, ternyata di tempat itu telah disambut tembakan gencar senapan mesin yang sudah disiapkan Jepang dengan demikian banyak pejuang gugur. Melihat pemandangan itu para pejuang Yogyakarta mengamuk dan ribuan massa kemudian menyerbu markas tersebut hingga akhirnya pihak Jepang benar-benar terdesak dan berkibarlah bendera merah putih. Pasukan Jepang satu per satu mulai menyerah dan senjata demi senjata akhirnya beralih ke tangan pejuang Indonesia. Bahkan gudang senjata juga berhasil direbut oleh para pemuda, sehingga banyak mendapatkan persenjataan modern. Pada saat itu beberapa pemuda telah berhasil memasuki markas Kotabaru melalui selokan saluran air (riol) dan langsung berhadapan dengan Otsuka, namun ternyata Otsuka bersedia untuk menyerah, asalkan dihadapkan pada Yogya Koo (Kepala Daerah) Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00 markas Jepang di Kotabaru secara resmi menyerah dan dikuasai para pejuang. Bendera merah putih kemudian dikibarkan di Kotabaru sebagai tanda kemenangan dan ratusan tentara Jepang yang masih tersisa kemudian ditangkap dan ditahan setelah senjatanya dilucuti. Setelah Markas Kotabaru jatuh ke tangan para pejuang, usaha perebutan kekuasaan kemudian meluas, dimana R.P. Sudarsono memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo. Berbagai jenis senjata modern, 15 truk serta ratusan peti granat tangan dapat dirampas dari tangan Jepang. Setelah berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia.
Demi mengingat peristiwa tersebut sebuah monumen diresmikan di Kotabaru oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 7 Oktober 1988. Monumen tersebut terletak di kompleks Asrama Korem 040 Pamungkas, Jalan Wardhani Kotabaru Yogyakarta. ''Tetenger ini didirikan untuk memperingati puncak pengambilalihan kekuasaan dari pihak Jepang di Yogyakarta dengan serbuan bersenjata dan pertumpahan darah yang dikenal sebagai Pertempuran Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945,'' terang yang tercantum dalam prasasti pada Monumen Serbuan Kotabaru itu.
07 OKTOBER 1981
BUNG TOMO MENINGGAL DUNIA
Sutomo atau yang akrab dikenal dengan sebutan Bung Tomo, sebagaimana dikutip dari laman merdeka.com, merupakan salah satu pahlawan nasional yang berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dimana ia berperan penting dalam pertempuran Surabaya, yaitu ketika tentara Belanda kembali menyerang Indonesia beberapa bulan setelah dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sekilas tentu kita mengingat foto hitam putih legendaris, di mana Bung Tomo berdiri dengan gerakan tangan mengacungkan jari dan tatapan mata tajam. Meskipun foto tersebut diambil dengan pengarah gaya alias bukan sebenarnya, namun semangat itulah yang mencerminkan perjuangan Bung Tomo dalam menghimpun semangat rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gempuran tentara Belanda dan Inggris yang masih berupaya menyerang.
Allahu Akbar... Allahu Akbar... kalimat takbir menjadi kalimat pembuka dan penutup Bung Tomo di setiap orasinya. Orasinya mampu membakar semangat juang, sehingga banyak orang menilai dia adalah seorang orator dan agigator ulung. Puncak orasinya adalah ketika perang 10 November 1945 di Yogyakarta. Bung Tomo dengan orasinya menjadi legenda. Lima tahun setelah itu, tepatnya 20 Mei 1950, Bung Tomo banting stir ke dunia politik dengan Partai Rakyat Indonesia. Bahkan di era Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, ia menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran dan Menteri Sosial adinterim. Kabinet yang hanya berumur tujuh bulan (Agustus 1955 – Maret 1956) itu berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama di Indonesia secara langsung, bebas, adil, dan rahasia. Setelah Pemilu, Bun Tomo terpilih menjadi anggota DPR dan Konstituante.
Pada tahun 1981, sebagaimana dikutip dari republika.com, Bung Tomo bersama isterinya, Sulistina dan dua puterinya, berangkat ibadah haji. Ia berangkat dari Indonesia ke Tanah Suci pada September 1981. Namun, pada 3 Oktober 1981, ulang tahun kelahirannya ke-61, Bung Tomo sakit tak sadarkan diri. Ia lalu dilarikan ke Rumah Sakit Kerajaan Arab Saudi. Dokter menyebut Bung Tomo terkena komplikasi hidrasi dan stroke. Dua hari sempat tak sadarkan diri, Bung Tomo siuman di hari ketiga. Dua hari berikutnya adalah hari wukuf di Arafah yang mesti ditunaikan bagi siapa pun yang berhaji dan tidak bisa diwakilkan, maka Bung Tomo berangkat wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijjah (7 Oktober 1981) meski tengah sakit. Bung Tomo ditandu ke Arafah untuk melaksanakan wukuf dan akhirnya meninggal dunia disana. Jenazah Bung Tomo sempat dimakamkan di Tanah Suci. Namun, atas ikhtiar keluarga almarhum, diwakili Bambang Sulistomo (putera kedua), kerangka jenazah Bung Tomo dipindahkan dari Tanah Suci ke Tanah Air.
Fatwa MUI dan bantuan diplomasi dari Departemen Luar Negeri memudahkan urusan pemindahan jenazah Bung Tomo tersebut. Keberangkatan Bambang Sulistomo bersama dua dokter ahli forensik dari Jakarta ke Mekkah berhasil. Setelah para petugas yang menguburkan waktu itu ditemukan, mereka lanjut mengidentifikasi jenazah Bung Tomo dan tanpa kesulitan dapat ditemukan. Jenazah Bung Tomo kemudian dipulangkan ke tanah air menggunakan pesawat Hercules TNI, di tanah air keluarga sepakat bahwa jenazahnya Bung Tomo akan dimakamkan di Ngagel Rejo, Jl Bung Tomo, Surabaya.
Bung Tomo kemudian mendapatkan gelar pahlawan dari pemerintah pada 9 November 2007 setelah didesak oleh Gerakan Pemuda Ansor dan Fraksi Partai Golkar. Gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.
0 Response to "RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 07 OKTOBER"
Post a Comment