RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 06 OKTOBER

 
06 OKTOBER 1945
PENYERBUAN KOTABARU YOGYAKARTA

Sebagaimana dikutip dari wikipedia.org, penyerbuan markas Jepang di Kotabaru Yogyakarta atau lebih dikenal sebagai Penyerbuan Kotabaru Yogyakarta diawali dengan perundingan antara Jepang dengan pejuang Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 6 Oktober 1945. Perundingan ini tidak mencapai mufakat karena Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya pada pejuang Yogyakarta. Sementara itu pada sore hari pukul 17.00 WIB, atusan pemuda dari Patuk, Pakualaman, Jetis dan sejumlah wilayah di Kota Yogyakarta telah berkumpul menunggu hasil perundingan antara tokoh masyarakat dengan tentara Jepang. Dengan persenjataan alakadarnya, mereka siap sedia melakukan penyerbuan jika jalan damai gagal. Perundigan ini diadakan karena meskipun proklamasi kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan, banyak pasukan Jepang dengan persenjataan lengkap masih bertahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rakyat menginginkan tentara Jepang tersebut melucuti senjatanya dan meninggalkan Yogyakarta. 

Namun, sebagaimana dikutip dari sindonews.com tokoh masyarakat lebih memilih mengambil jalan damai dan melakukan perundingan dengan Jepang meminta agar segera menyerahkan persenjataanya. Mereka yang berunding adalah Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Mohammad Sholeh didampingi Oemar Djoy, Soendjojo, Bardosono, dan Raden Pandji Soedarsono. Sedang dari pihak Jepang diwakili Mayor Otsoeko, Sazaki dan Kapten Ito (Kianbucho). Perundingan dilangsungkan di rumah Komandan pasukan Jepang Butaicho yang saat ini berada di kompleks monumen Serbuan Kotabaru Yogyakarta. Pada perundingan tersebut, perwakilan Jepang meminta agar diberi penguluran waktu penyerahan senjata hingga esok hari. Namun para pemuda tidak mau, karena mereka tahu bahwa itu hanyalah strategi Jepang untuk mengulur waktu sambil menunggu bala bantuan dari Magelang. Mengetahui perundingan gagal, para pemuda dan pejuang memutuskan untuk mengambil cara kekerasan dengan menyerbu kompleks markas tentara Jepang.

Pada malam harinya, tepatnya pukul 9 malam, disebarkan imbauan agar seluruh warga dari berbagai kampung untuk ikut dalam penyerbuan. Masyarakat pun merespons imbauan tersebut dengan berduyun-duyun ke Kotabaru, tepatnya di kawasan Stadion Kridosono dengan membawa bambu runcing, tombak, keris dan senjata apapun yang mereka miliki. Para pejuang tersebut juga dibantu oleh polisi Istimewa yang telahvmemiliki persenjataan modern. Para pemuda di sekitar Kotabaru juga ikut dalam pertempuran dengan bergabung dan diberi nama laskar rakyat. Melihat hal itu, pasukan Jepang memasang kawat berduri yang dialiri strum listrik. Rakyat pun tidak bisa mendekat dan sementara mereka berlindung di belakang tembok Stadion Kridosono yang saat itu belum begitu tinggi seperti sekarang. Tepat pukul 04.30 WIB, 7 Oktober 1945 atau setelah salat subuh, aliran listrik di kawat berduri berhasil diputus. Dengan kode ledakan granat, seluruh rakyat yang telah menunggu semalaman akhir merangsek ke markas tentara Jepang. 

Pertempuran berlangsung selama 6 jam, hingga pada akhirnya pada pukul 10.30 WIB, tentara Jepang berhasil dilumpuhkan. Namun, keberhasilan itu harus dibayar mahal dengan gugurnya 21 pejuang dan 32 orang luka-luka. Sedangkan di pihak Jepang, sebanyak 27 orang tewas dan sekitar 440 orang berhasil ditangkap dan dimasukan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan. Pejuang yang gugur dalam penyerbuan Kotabaru adalah Mohammad Saleh, Djasman, Trimo, Djoewandi, Faridan M Noto, Bagong Ngadikan. Sabirin, Amat Djazuli, Soeparmo, Sudjijono, I Dewan Nyoman oka, Soenardjo, Djohar Norhadi, Oemoem Kalipan, Atmosukarto, Soebarman, Mohammad Wardani, Soeroto, Abu Bakar Ali, dan Soepadi. Sebanyak 17 pejuang dimakamkan di Taman Makam Kusumanegara, 2 orang di belakang masjid Kauman, 1 orang di Makam Gajah Glagah dan 1 lagi di Sleman. Sekarang, nama-nama pejuang yang gugur dalam penyerbuan itu dijadikan nama jalan di Kotabaru.

06 OKTOBER 1945
RAPAT RAKSASA DI LAPANGAN MERDEKA MEDAN

Lapangan Merdeka, sebagaimana dikutip dari wikipedia.org, adalah sebuah alun-alun di Kota Medan, Sumatra Utara, Indonesia. Letaknya di area Kesawan, tepat di pusat kota, dan merupakan titik nol Kota Medan seperti ditetapkan pemerintah kota Medan. Secara administratif, lokasinya berada dalam Kecamatan Medan Petisah. Lapangan Merdeka dikelilingi berbagai bangunan bersejarah dari zaman kolonial Hindia Belanda, di antaranya Kantor Pos Medan, Hotel De Boer (Dharma Deli), Gedung Balai Kota Lama dan Gedung de Javasche bank (Bank Indonesia). Di sekelilingnya juga ditanami pohon trembesi yang sudah ada sejak zaman Belanda. Alun-alun ini direncanakan pembangunannya sejak 1872, sejalan dengan kepindahan Kesultanan Deli dan pusat administrasi bisnis 13 perusahaan perkebunan dari Labuhan Deli ke Medan. Lapangan ini aktif digunakan sejak 1880, pada zaman Belanda, namanya adalah de Esplanade, dan di jaman Jepang diberi nama Fukuraido.

Pada tanggal 28 Oktober 2021, sebagaimana dikutip dari laman kompas.com, lapangan Merdeka dengan luas 4,88 hektar ini ditetapkan sebagai cagar budaya dan kini tengah dikembalikan fungsinya sebagai paru-paru kota dan ruang publik. Pada 6 Oktober 1945, lapangan ini digunakan sebagai tempat rapat raksasa di mana Gubernur Sumatera Muhammad Hasan menyiarkan secara resmi berita proklamasi Indonesia. Untuk mengenang peristiwa ini didirikan Monumen Proklamasi yang terletak di sisi Timur Lapangan Merdeka Medan. Kini Lapangan Merdeka memiliki tiga identitas sekaligus yakni, sebagai cagar budaya, sidik jari Proklamasi Kemerdekaan RI dan Kawasan Terbuka Hijau. Identitas ini diharapkan bisa mengingatkan seluruh pemimpin di daerah ini bahwa masyarakat Sumut juga mempunyai andil dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Setiap tahunnya pada tanggal 6 Oktober, di Lapangan ini diperingati Pembacaan Kembali Teks Proklamasi untuk Wilayah Sumatera di Monumen Proklamasi.

0 Response to "RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 06 OKTOBER"

Post a Comment