14 SEPTEMBER 1908
BERDIRINYA BALAI PUSTAKA
Pendirian Balai Pustaka berawal dari mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat pribumi bahwa mereka sebenarnya tengah dijajah oleh pemerintahan Hindia Belanda. Banyak tulisan-tulisan bernada kritik yang ditujukan kepeda pemerintah Hindia Belanda oleh para pribumi dan mulai tersebar luas di tengah-tengah masyarakat. Menanggapi bahaya yang bakal timbul akibat tulisan-tulisan tersebut, pemerintah Hindia Belanda melakukan cara cerdik dengan menerbitkan tulisan-tulisan tandingan yang isinya bisa membuat masyarakat lupa bahwa mereka tengah dijajah. Tulisan-tulisan tersebut diterbitkan pihak pemerintah Hindia Belanda melalui lembaga yang mereka dirikan yaitu Balai Pustaka (sebutan sekarang).
BERDIRINYA BALAI PUSTAKA
Pendirian Balai Pustaka berawal dari mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat pribumi bahwa mereka sebenarnya tengah dijajah oleh pemerintahan Hindia Belanda. Banyak tulisan-tulisan bernada kritik yang ditujukan kepeda pemerintah Hindia Belanda oleh para pribumi dan mulai tersebar luas di tengah-tengah masyarakat. Menanggapi bahaya yang bakal timbul akibat tulisan-tulisan tersebut, pemerintah Hindia Belanda melakukan cara cerdik dengan menerbitkan tulisan-tulisan tandingan yang isinya bisa membuat masyarakat lupa bahwa mereka tengah dijajah. Tulisan-tulisan tersebut diterbitkan pihak pemerintah Hindia Belanda melalui lembaga yang mereka dirikan yaitu Balai Pustaka (sebutan sekarang).
Sebagaimana dikutip dari laman VOI indonesia voi.id, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Balai Pustaka pada tanggal 14 September 1908. Pada masa itu, lembaga ini bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat. Komisi Bacaan Rakyat (KBR) ini dibuat untuk menerbitkan buku, majalah, dan koran. Semua jenis tulisan berkesempatan untuk diterbitkan di Komisi Bacaan Rakyat (KBR) kecuali satu, tulisan yang mengandung unsur perjuangan. Pasalnya, kebanyakan karya yang diterbitkan Komisi Bacaan Rakyat (KBR) adalah jenis bacaan yang dapat meninabobokan para pribumi. Dengan kata lain, Belanda ingin agar rakyat pribumi lupa bahwa mereka tengah dijajah.
Keinginan Belanda agar rakyat lupa bahwa tengah dijajah bukannya tidak mendasar. Saat itu koran bumiputra sudah beredar luas di masyarakat, banyak kritikan disalurkan melalui tulisan-tulisan yang ada pada koran tersebut. Hingga akhirnya, membuat masyarakat mulai berani menunjukkan ketidakpuasannya terhadap rezim Hindia Belanda dengan mengeluarkan keresahan lewat tulisan. Hal itulah yang kemudian membuat Pemerintah Hindia Belanda resah hingga mereka memutuskan untuk mendirikan Commissie voor de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat (KBR). Ada tiga lini produk KBR, yaitu yang pertama adalah buku untuk anak-anak, kedua adalh buku hiburan dan referensi dalam bahasa daerah dan yang ketiga adalah buku hiburan dan referensi dalam bahasa Melayu.
Dikutip dari bestariedu.com, meski sempat diambil alih oleh pihak Jepang pada masa pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia dan mengganti nama KBR dengan Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku, setelah kekalahan Jepang di perang dunia II, lembaga ini bisa diambil kembali oleh Belanda pada masa Agresi Militer. Kemudian mulai tanggal 22 September 1917, tugas KBR diambil alih oleh lembaga baru bernama Kantoor voor de Volkslectuur atau yang dikenal sebagai Kantor Bacaan Rakyat. Lembaga ini yang kemudian berkembang menjadi Balai Pustaka dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahir Balai Pustaka. Dengan lahirnya Kantor Bacaan Rakyat (KBR), Rinkes, direktur pertama Balai Pustaka, mulai merumuskan kategori bacaan yang baik bagi rakyat Indonesia. Beberapa tema yang dianggap baik saat itu adalah sastra, keterampilan, pertanian dan ilmu alam, hingga budi pekerti.
Selain menerbitkan buku, Balai Pustaka juga mendirikan jaring perpustakaan yang dinamai Taman Pustaka untuk memperluas akses masyarakat terhadap produknya. Sebelum merdeka, Balai Pustaka membangun sekitar 2.800 Taman Bacaan Rakyat. Selain itu, Balai Pustaka tidak pernah absen menerbitkan karya Sastra Indonesia. Bahkan Balai Pustaka sempat mendominasi penerbitan buku-buku sastra pada 1950-an. Selain itu, Balai Pustaka juga berhasil mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, bahkan dijadikan contoh karena berhasil memegang pimpinan dalam barisan penerbit. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan menyerahkan Balai Pustaka, Balai Pustaka berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
14 SEPTEMBER 1995
DITETAPKAN SEBAGAI HARI KUNJUNG PERPUSTAKAAN
Bulan September merupakan bulan yang istimewa bagi insan perpustakaan, baik pustakawan maupun para pegiat literasi. Pasalnya, tiap tanggal 14 September selalu diperingati sebagai Hari Kunjung Perpustakaan. Sebagaimana dikutip dari laman perpusnas.go.id, Hari Kunjung Perpustakaan menjadi momentum yang sangat penting dirayakan dengan berbagai kegiatan, tidak hanya Perpustakaan Nasional (Perpusnas) saja tetapi juga perpustakaan daerah dan perpustakaan khusus lainnya. Diharapkan kegiatan ini dapat memupuk semangat dan komitmen masyarakat khususnya pustakawan untuk terus menggerakkan produktivitas bangsa, serta kemampuan bangsa dalam mewujudkan cita-cita bangsa melalui kegemaran membaca buku.
Sejarah Hari Kunjung Perpustakaan, dimulai sejak 14 September 1995 pada saat pemerintahan Presiden Soeharto. Ini berawal dari dari Ketetapan Presiden Soeharto kepada Kepala Perpustakaan Nasional RI dengan surat nomor 020/A1/VIII/1995 pada tanggal 11 Agustus 1995. Surat tersebut berisi tentang usulan pencanangan hari kunjung perpustakaan pada tanggal 14 September 1995. Presiden Soeharto memiliki harapan dengan adanya ketetapan tersebut dapat memberikan tujuan yang positif bagi gerakan aktivis intelektual di Indonesia, terutama di dalam menyebarkan budaya membaca kepada generasi penerus bangsa Indonesia.
Dalam tulisan yang ditulis oleh Kepala Perpusnas pertama, Mastini Harjo Prakoso pada Majalah Himpunan Perpustakaan Chusus Indonesia (HPCI), disebutkan bahwa Indonesia pernah menjadi negara yang produktif dalam menerbitkan berbagai judul buku. Hal ini juga terkait dengan semangat Presiden Pertama Soekarno yang memang sangat menggilai membaca dan mendukung penuh untuk menjadikan penerbitan termasuk juga aktivitas membaca dan pemberantasan buta huruf sebagai prioritas pertama. Terlihat pada tahun 1963, banyak terbitan buku di Indonesia bahkan pihak swasta sudah mulai berani membangun berbagai usaha penerbitan dan buku di Indonesia. Hal ini menjadi perhatian Amerika sebagai negara Adi Kuasa. Bahkan mereka membeli buku terbitan Indonesia dengan membuka kantor cabang Perpustakaan Nasional Amerika Serikat di Indonesia.
Tak hanya Amerika Serikat, Badan Literasi Belanda Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde (KITLV) memusatkan untuk mengakuisisi terbitan indonesia di bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan, Australia juga membuka perwakilan kantor Perpustakaan Nasional menunjuk agennya untuk membeli ragam buku terbitan Indonesia khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan sosial. Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak Karya Rekam, serta Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dapat dijadikan Perpusnas untuk terus menggerakkan serta memastikan karya tentang Indonesia dari berbagai macam terbitan bisa dihimpun.
0 Response to "RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 14 AGUSTUS"
Post a Comment