RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 13 SEPTEMBER

 
13 SEPTEMBER 2007
DEKLARASI PBB TENTANG HAK-HAK MASYARAKAT ADAT

Draft United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) atau Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat, sebagaimana dikutip dari laman wikipedia.org, adalah sebuah deklarasi yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) dalam sesi ke-61-nya di Markas PBB di New York pada hari Kamis, 13 September 2007, oleh mayoritas 144 negara yang mendukung, 4 suara menentang (Australia, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat) dan 11 abstain (Azerbaijan, Bangladesh, Bhutan, Burundi, Kolombia, Georgia, Kenya, Nigeria, Federasi Rusia, Samoa dan Ukraina). Pada bulan Mei 2016, Kanada secara resmi menghapus status keberatannya kepada UNDRIP, hampir satu dekade setelah disahkan oleh Majelis Umum. Saat ini, 3 negara penentang lainnya, pada beberapa tingkatan mulai mengubah paradigma mereka sebelumnya. 

Deklarasi ini dibuat dalam waktu lebih dari 22 tahun. Gagasan berawal saat Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC), tahun 1982, mendirikan Kelompok Kerja dalam Populasi Penduduk Asli (WGIP) sebagai hasil penelitian Special Rapporteur PBB José R. Martínez Cobo dalam masalah diskriminasi yang dihadapi penduduk asli. Kelompok kerja ini ditugasi untuk mengembangkan standar hak asasi manusia yang akan melindungi para penduduk adat, dan pada 1985 mulai menyusun Deklarasi tentang Hak-Hak Penduduk Asli. Naskah tersebut selesai pada tahun 1993, dan selanjutnya diajukan kepada Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas, yang menerimanya pada tahun berikutnya. Draft Deklarasi ini kemudian dirujuk kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB, yang kemudian mendirikan kelompok kerja lain untuk memeriksa isinya. 

Dalam tahun-tahun berikutnya kelompok kerja ini bertemu sebanyak 11 kali untuk memeriksa dan mempercocok Draft Deklarasi ini dan ketentuan-ketentuannya. Perkembangan berjalan dengan lambat karena kekhawatiran negara-negara tertentu soal beberapa ketentuan umum dalam deklarasi ini, misalnya hak penduduk adat untuk menentukan nasibnya sendiri, dan mengendalikan sumber daya alam yang berada di tanah adat mereka. Versi terakhir dari deklarasi ini akhirnya disetujui pada 29 Juni 2006 oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB (pengganti Komisi Hak Asasi Manusia), dimana dari 47 negara anggota, 30 setuju, 2 menolak, 12 abstain, 3 absen. Deklarasi ini menetapkan hak individu dan kolektif masyarakat adat, serta hak mereka atas budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan masalah lainnya. 

Deklarasi "menekankan hak-hak masyarakat adat untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka sendiri, dan untuk mengejar perkembangan mereka sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri." Deklarasi juga "melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat", dan "mempromosikan partisipasi penuh dan efektif mereka dalam semua hal yang menyangkut kehidupan mereka dan hak mereka untuk tetap berbeda dan untuk mengejar visi mereka sendiri dalam pembangunan ekonomi dan sosial". Tujuan Deklarasi ini adalah untuk mendorong negara-negara untuk bekerja sama dengan masyarakat adat dalam memecahkan masalah global, seperti pembangunan, demokrasi multikultural dan desentralisasi. Menurut Pasal 31, ada penekanan utama bahwa masyarakat adat dapat melindungi warisan budaya dan aspek-aspek budaya dan tradisi mereka lainnya, yang sangat penting dalam melestarikan warisan mereka.

Dikutip dari greener.com, Indonesia merupakan salah satu dari 144 negara yang mendukung pengesahan deklarasi di sidang umum PBB pada 13 September 2007. Namun, hampir 13 tahun sejak UNDRIP disahkan, Indonesia belum juga memiliki Undang-Undang Masyarakat Adat. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat saat ini masuk di dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegas) DPR Tahun 2020. Walaupun, sejak 2013 RUU tersebut berkali-kali keluar masuk dari daftar prolegnas parlemen. Ketiadaan uundang-undang sebagai payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat juga dinilai membuka ruang tumbuhnya korupsi sumber daya alam. Hasil Inkuiri Nasional Komisi Nasional HAM tentang Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan 2014 memperlihatkan bahwa dari 40 kasus yang diselidiki terdapat investasi yang beroperasi secara ilegal.

Krisis agraria yang sistemis dan kronis akibat investasi berperan dalam melestarikan konflik agraria dan tenurial di tengah masyarakat adat. Merujuk data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, pada 2019 terdapat 125 komunitas adat yang menjadi korban konflik sumber daya dan tersebar di hampir sepertiga wilayah Indonesia. Sementara organisasi HuMa mencatat bahwa pada 2018 merebak ratusan konflik sumber daya alam yang melibatkan lahan seluas 2,1 juta hektare. Sedikitnya 176.637 warga adat menjadi korban atas konflik tersebut. Perlu diketahui bahwa masyarakat adat memiliki peran penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Praktik arif masyarakat adat dalam menjaga hutan adat terbukti mampu menjaga hutan tetap lestari. Masyarakat adat terbukti mampu menghentikan penurunan tutupan hutan dan dapat berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap pemenuhan target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dari penurunan deforestasi.

13 SEPTEMBER 2000
BOM MELEDAK DI BEJ (BURSA EFEK JAKARTA)

Bom BEJ (Bursa Efek Jakarta), sebagaimana dikutip dari laman wikipedia.org, adalah serangan teroris terhadap Bursa Efek Jakarta, sekarang Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 13 September 2000. Bom mobil meledak di halaman parkir P2 lantai bawah tanah Bursa Efek Jakarta, menjalankan rentetan ledakan. Sebanyak 10 orang tewas dalam ledakan ini, mereka ditemukan di dekat titik ledakan, ada yang ditemukan terjebak di dalam kendaraan yang terparkir dan ada juga yang tergeletak di lantai. Selain sepuluh korban tewas, 90 korban lain mengalami luka berat dan ringan, 104 unit mobil rusak berat, dan 57 unit mobil rusak ringan. Kegiatan transaksi di bursa berhenti total selama dua hari. Dan karena perdagangan saham terhenti, maka perdagangan uang jadi marak. Pengaruhnya, rupiah jadi terpuruk seketika.

Dikutip dari tirto.id, seorang petugas satuan pengaman (satpam) BEJ bernama Suryadi, yang berada di lantai parkir P2 saat ledakan terjadi dan selamat mengatakan bahwa sumber ledakan adalah sebuah mobil yang terparkir di sana. Mobil yang meledak di lantai parkir P2 BEJ adalah mobil yang dikendarai oleh Irwan dan Ibrahim Hasan, Irwan adalah seorang anggota Kopassus, sedang Ibrahim Hasan adalah anggota Kostrad. Ledakan terjadi pada pukul 15.20 WIB, sap tebal berwarna hitam pekat membumbung dari Gedung BEJ, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Peristiwa tragis yang mengejutkan warga Ibu Kota itu terjadi persis sehari menjelang persidangan Presiden Kedua RI Soeharto, menambah daftar panjang kasus ledakan bom yang mengguncang Indonesia pada tahun itu.
Melalui hasil penelusuran tim investigasi, persiapan ledakan ini berawal dari bengkel Krung Baro Motor pada siang 13 September 2000. Nuryadin diminta bosnya, Tengku Ismuhadi Jafar, mengambil sekotak kardus di lantai dua kantor bengkel dan menaruhnya di bagasi Toyota Corona Mark II yang sudah disiapkan di bawah. Sebagai karyawan biasa, ia hanya menurut. 

13 SEPTEMBER 2021
KAPAL PERANG CHINA MONDAR-MANDIR DI LAUT NATUNA UTARA

Pada hari senin  tanggal 13 September 2021 sejumlah nelayan tradisional di Kepulauan Riau melaporkan bahwa mereka telah berpapasan dengan 6 kapal China di laut Natuna Utara. Para nelayan tersebut merasa ketakutan dan berharap aparat keamanan segera turun tangan agar para nelayan bisa merasa aman. Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, bahkan menunjukkan sejumlah video hasil hasil rekaman yang diambil oleh para nelayan, dalam video tersebut terlihat ada beberapa kapal perang yang salah satunya merupakan Destroyer Kunming 172 milik China yang terlihat paling jelas/paling dekat. Pada video tersebut, sang perekam juga menunjukkan titik koordinat lokasi yaitu di 6.17237 Lintang Utara dan 109.01578 Bujur Timur, dimana lokasi tersebut masih merupakan Zona Ekonomi Ekskudif (ZEE) Indonesia.

Sebenarnya ancaman keberadaan Kapal China di laut Natuna sudah mulai menguat sejat Agustus 2021 silam. Selain 6 (enam) kapal yang dilihat para nelayan, sebenarnya melalui pantauan satelit, ditemukan juga kapal Survei Haiyang Dizhi-10 yang berulang kali nelintas dengan lintasan zig zag di laut Natuna Utara dengan dikawal sejumlah kapal penjaga Pantai China. dikutip dari portal berita Kompas, Kepala Dinas Penerangan Komando Armada I TNI Angkatan Laut Letnan Kolonel Laode Muhammad mengatakan, pihaknya belum mendapat laporan mengenai kehadiran 6 (enam) kapal China yang dilihat nelayandi laut Natuna Utara. Namun, apabila ada kapal China yang mondar mandir di ZEE Indonesia, biasanya kapal TNI AL akan langsung membayangi dan melakukan komunikasi dengan mereka.

Secara terpisah, ketua Centre for Chinese Studies Rene L. Pattiradjawane mengatakan, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, secara jelas telah mengatur bahwa kapal militer suatu negara tidak boleh berpatroli di ZEE negara lain. Oleh karena itu, Indonesia harus mulai lebih tegas menyikapi masuknya kapal perusak (Destroyer) China ke perairan laut Natuna Utara ataupun di perairan Indonesia lainnya.

0 Response to "RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 13 SEPTEMBER"

Post a Comment