RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 01 SEPTEMBER

 
01 SEPTEMBER 1498 - BERDIRINYA KABUPATEN KUNINGAN
Kabupaten Kuningan, sebagaimana dikutip dari laman suara.com, merupakan salah satu kota terbesar di Jawa Barat, dimana wilayahnya berdekatan dengan Kabupaten Majalengka, Kota Cirebon dan Bandung. Kabupaten Kuningan termasuk kawasan dataran tinggi, salah satunya kawasan Gunung Ceremai (3.078 m). Dilihat dari bukti-bukti peninggalan purbakala yang ada di wilayah Kuningan, diperkirakan wilayah ini sudah dihuni manusia dengan tingkat kebudayaan yang relatif maju sejak 3.500 tahun yang lalu. Pada tanggal 22 Juli 1175 Masehi Kuningan dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Sunda dibawah Rakean Darmasiksa putra ke-12 Rahiang Banga. Setelah bertahta selama 12 tahun di Saunggalah, kemudian keraton dipindahkan oleh Rakean Darmasiksa ke Pakuan Pajajaran. Kemudian Kuningan juga menjadi tempat dilaksanakannya Perundingan Linggarjati pada bulan November 1946.

Dikutip dari wikipedia.org, sejarah Kuningan pada masa Islam tidak lepas dari pengaruh kesultanan Cirebon. Pada tahun 1470 masehi datang ke Cirebon seorang ulama besar agama Islam yaitu Syeh Syarif Hidayatullah, murid dari Sayid Rahmat yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. Pada waktu Syeh Syarif Hidayatullah di Luragung, Kuningan, datanglah Ratu Ontin Nio istrinya dalam keadaan hamil dari negeri Tiongkok. Dari Ratu Ontin Nio lahir seorang putra yang diberi nama Pangeran Kuningan. Setelah tumbuh dewasa, tepatnya pada bulan Muharram tanggal 1 September 1498 Masehi, Pangeran Kuningan dilantik menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Pangeran Arya Adipati Kuningan (Adipati Kuningan). Maka sejak itulah dinyatakan sebagai titik tolak terbentuknya pemerintahan Kuningan yang selanjutnya ditetapkan menjadi tanggal hari jadi Kuningan.

01 SEPTEMBER 1948 - LAHIRNYA POLWAN (POLISI WANITA)
Polwan (Polisi Wanita), sebagaimana dikutip dari tirto.id, sejatinya sudah ada sejak zaman perang kemerdekaan dengan berbagai macam dinamika dan persoalannya. Kesatuan polisi wanita di Indonesia pertama kali dihadirkan pada 1 September 1948, tepat hari ini 74 tahun silam. Kala itu, anggota Polwan hanya ada 6 orang saja. Perjalanan Polwa di Republik Indonesia damulai pada tahun 1948, dimana kala itu negeri ini tengah dilanda guncangan atas kembalinya Belanda ke tanah air (Agresi Militer Belanda). Ditengah kekacauan dan perang, banyak masyarakat yang kemudian mengungsi ke daerah aman yang jauh dari medan pertempuran, untuk menghindari penyusup dan mata-mata Belanda ditengah masyarakat yang mengungsi, tentara Indonesia kala itu harus dengan cermat melakukan pemeriksaan ke semua orang.

Yang menjadi persoalan, tidak semua pengungsi perempuan bersedia diperiksa oleh petugas laki-laki, terlebih secara fisik. Hal ini tentunya cukup menyulitkan, karena bisa saja Belanda mengirimkan wanita pribumi sebagai mata-mata. Sebagai upaya untuk mengatasinya pemerintah RI memberikan mandat kepada Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittinggi untuk membuka pendidikan kepolisian bagi perempuan. Hasilnya, terpilih enam orang gadis remaja lulusan sekolah menengah untuk mengikuti pendidikan kepolisan wanita tersebut. Keenam perempuan itu adalah Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher, semuanya berdarah Minangkabau. 

Keenam calon petugas wanita itu menjalani pelatihan sebagai inspektur polisi bersama dengan 44 peserta pria. Mereka mulai mengikuti pendidikan di SPN Bukittinggi pada 1 September 1948, yang kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran polwan di Indonesia. Enam polisi wanita perintis ini juga menjadi anggota Angkatan Bersenjata RI perempuan pertama. Rata-rata, mereka berakhir pensiun dengan pangkat kolonel polisi atau komisaris besar polisi. Di pengujung tahun 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II. Ibukota RI, yang waktu itu berada di Yogyakarta, diduduki. Para petinggi negara, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, dan beberapa orang menteri, ditawan lalu diasingkan ke luar Jawa. Ketika pusat pemerintahan di Yogyakarta jatuh, Bukittinggi ditunjuk Soekarno sebagai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Keenam polisi wanita itu turut ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan pemerintahan darurat di Bukittinggi.

Dikutip dari kompas.id, Pada akhir tahun 1970, terdapat 921 polwan atau 0,6 persen dari total personel Polri yang berjumlah 135.788. Pada tahun 1990, dari 5.000 polwan, sejumlah 4.000 berpangkat sersan, kurang dari 100 polwan berpangkat letnan kolonel, dan tidak sampai 20 polwan yang berpangkat kolonel. Pada tahun 1992, anggota polwan berjumlah 5.277 atau tiga persen dari 166.658 anggota Polri. Pada tahun 2005 pun, proporsi polwan masih berada di angka tiga persen. Selang 27 tahun kemudian, menurut data Asisten Sumber Daya Manusia Polri 2017, dari 419.823 anggota Polri, sejumlah 23.533 orang atau 5,6 persen adalah polwan. Dari jumlah tersebut, hanya empat polwan yang berstatus perwira tinggi dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen). Pada tahun 2021, persentase polwan naik menjadi 6 persen dengan jumlah polwan sebanyak 24.468 orang dari total 418.0432 anggota Polri.

0 Response to "RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 01 SEPTEMBER"

Post a Comment