ARTIDJO ALKOSTAR, HAKIM YANG DITAKUTI PARA KORUPTOR

 
Artidjo Alkostar adalah seorang pengacara, hakim, dan akademisi hukum Indonesia, dimana Ia pernah menjabat sebagai Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Republik Indonesia serta pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023. Artidjo adalah salah satu sosok hakim yang paling ditakuti para koruptor kala mengajukan kasasi di MA. Saat palu hakim di tangan Artidjo, alih-alih para koruptor berharap mendapatkan keringanan hukuman, justru diganjar dengan vonis yang lebih berat.

Artidjo Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur pada tanggal 22 Mei 1948, dimana Ayah dan ibunya berasal dari Sumenep, Madura. Pendidikan SMA-nya ia tamatkan di Asem Bagus (Situbondo), kemudian melanjutkan ke jenjang sarjana di  Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan lulus pada tahun 1976 dengan meraih gelat Sarjana Hukum (S.H.). Pendidikan ia lanjutkan ke jenjang Magister di Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat dan lulus pada tahun 2002 dengan mendapatkan gelar LL.M. Saat di Univversitas Northwestern tersebut, Artidjo menulis disertasi mengenai pengadilan hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia. Bahkan Artidjo juga pernah menempuh pelatihan pengacara hak asasi manusia di Universitas Columbia selama enam bulan.

Dilansir dari indonesia.go.id, Artidjo Alkotsar mengawali krirnya sebagai menjadi tenaga pengajar di FH UII Yogyakarta yang dimulai pada tahun 1976. Kemudian pada tahun 1981, ia ikut melibatkan diri menjadi bagian di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Di LBH Yogyaka ini Artidjo pernah menjabat sebagai wakil direktur (1981-1983) dan direktur (1983-1989). Pada saat yang sama, ia bekerja selama dua tahun di Human Right Watch divisi Asia di New York. Sepulang dari Amerika, ia mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates hingga tahun 2000. Selanjutnya, pada tahun 2000 ia terpilih sebagai Hakim Agung Republik Indonesia. 

Artidjo Alkotsar pernah menjadi Hakim Agung selama 18 tahun lebih. Sebelum menjadi Hakim Agung pada 2000, Artidjo berkarir sebagai advokat selama 28 tahun. Saat menjabat sebagai hakim agung, 19.708 berkas perkara pernah ditangani. Atau rata-rata setiap tahunnya dia menangani 1.095 perkara. Artidjo tercatat sering menangani perkara berisiko, ia pernah menjadi penasihat hukum kasus Komando Jihad, kasus penembakan gali atau bromocorah di Yogyakarta, kasus Santa Cruz (Timor Timur), kasus pembunuhan wartawan Bernas Muhammad Syafruddin (Udin), dan ketua tim pembela gugatan Kecurangan Pemilu 1997 di Pamekasan, Madura

Selama menjabat, Artidjo tak pernah mengambil cuti dan selalu menolak ketika diajak ke luar negeri. Alasannya, hal tersebut bisa berimplikasi besar terhadap tugas-tuganya. "Saya bekerja itu ikhlas. Jadi kalau ikhlas akan menjadi nutrisi kesehatan. Tapi kalau bekerja tidak ikhlas akan menjadi ria. Racun dalam tubuh kita. Jadi semua tergantung kepada niatnya," kata Artidjo dalam buku 'Alkostar, Sebuah Biografi' terbitan Kompas Media Nusantara halaman 200. Salah satu integritas lain dari Artidjo adalah tetap memelihara kesederhanaan. Kesederhanaannya kontras dengan kinerjanya. Lewat ketokan palunya, Artidjo mengembalikan kerugian negara ratusan miliar rupiah. Namun, itu tidak membuatnya jumawa untuk meminta yang berlebih.

Sebagai hakim Agung, Artidjo Alkostar dikenal "Galak" dalam memberikan hukuman kepada terdakwa kasus korupsi yang mengajukan kasasi. Bahkan ia  berani berbeda pendapat dengan majelis hakim lain pada perkara mantan Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra. Pada kasus Djoko Tjandra, ia menyimpulkan terdakwa bersalah dan dihukum 20 tahun meski dua hakim agung lain membebaskannya. 

Dari kasus Djoko Tjandra, Artidjo memperkenalkan dissenting opinion, dan dari hal ini juga  namanya kian mencuat dan dikenal oleh banyak kalangan.  Menurutnya, melalui dissenting opinion tersebut ia berharap orang tidak menganggapnya sebagai pecundang, karena adanya dukungan kepada pendapatnya. Ia juga pernah menyatakan bahwa ada kemajuan dalam dirinya, sebab saat dulu ia masih menjadi pengacara, ia kerap mengalami kekalahan dalam menangani kasus karena tidak mau memberi suap kepada hakim dan jaksa.

Sebagai Hakim Agung, ia kerap menambah hukuman bagi mereka yang justru berharap hukumannya dikurangi, bahkan dibebaskan. Artidjo mempunyai alasan kenapa dia sering memutuskan untuk memperberat hukuman koruptor. Menurut dia, penegakkan kebenaran dan keadilan sesuai fakta yang objektif dan meluruskan penerapan pasal-pasal yang relevan sesuai kasus, menjadi alasan hukuman terhadap koruptor yang mengajukan kasasi justru dinaikkan. 

Beberapa kasus yang ditangani Artidjo yang akhirnya memberatkan hukuman tersangka, diantarantanya, vonis empat tahun penjara menjadi 12 tahun kepada politikus Angelina Sondakh dan menggandakan hukuman bekas ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dari vonis tujuh tahun di Pengadilan Tinggi DKI menjadi 14 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsidair 1 tahun 4 bulan penjara. Selain itu, eks Sekda Kabupaten Nabire, Papua, Ayub Kayame dari vonis bersalah satu tahun menjadi 10 tahun atas kasus korupsi genset sebesar Rp 21 miliar, kasus eks Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan masih banyak kasus lain yang ditangani Artidjo yang memperberat vonis koruptor di tingkat sebelumnya.

Penambahan lama maupun jumlah hukuman pengaju kasasi, menurut Artidjo dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku. Artidjo juga menjelaskan perbedaan substansial dalam isi pasal 2 dan 3 undang-undang tindak pidana Korupsi (UU Tipikor) meskipun sekilas hampir sama. Menurut Artidjo, kualitas manusia terletak pada pola pikir dan substasi perbuatan yang dilakukan seseorang untuk masyarakat, bangsa dan negara. Ia juga pernah mengatakan bahwa seorang hakim harus lebih pintar dari pembuat Undang-Undang dan koruptor. Dua pasal itu bisa membuat perbedaan hukuman terhadap terdakwa. Pasal 3 itu kualifikasinya, unsurnya, setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, menguntungkan diri sendiri, juga merugikan keuangan negara.

Artidjo menikah dengan Sri Widyaningsih pada 1998, dan meninggal dunia pada Minggu, 28 Februari 2021 di Jakarta pada usia 72 tahun. Artidjo meninggal karena penyakit Komplikasi yang telah lama ia derita. Sebelumnya kematian Artidjo sempat dikaitkan dengan infeksi Covid-19, namun hal itu dibantah, komplikasi penyakit paru-paru, jantung, dan ginjal-lah yang menjadi penyebab kematiannya. Atas semua jasa dan pencapaiannya selama ini, Artidjo mendapatkan tanda kehormatan berupa "Bintang Mahaputra Adipradana" tahun 2021

0 Response to "ARTIDJO ALKOSTAR, HAKIM YANG DITAKUTI PARA KORUPTOR"

Post a Comment