11 APRIL 1914, HARI LAHIRNYA ROEBIONO KERTOPATI, BAPAK PERSANDIAN INDONESIA

 
Kita mungkin sudah sangat akrab dengan nama-nama pahlawan nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Jenderal Soedirman dan lain sebagainya, namun sebagian kita akan terasa asing jika mendengar nama Roebiono Kertopati. Nama beliau sebenarnya tercatat sebagai salah satu pahlawan penting yang juga ikut berjuang dalam masa penjuangan kemerdekaan Indonesia hingga berdirinya pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Roebiono Kertopati adalah orang yang dikenal sebagai "Bapak Persandian Republik Indonesia", gelar tersebut disematkan kepadanya lantaran Roebiono-lah yang kali pertama menyusun sistem sandi atau kode untuk komunikasi agar isi komunikasi pemerintah dan militer saat perang melawan Belanda tidak bisa terungkap.

Sebagaimana dikutip dari solopos.com, Roebiono meski memiliki pangkat militer, beliau pada awalnya bukan merupakan anggota militer. Pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 11 April 1914 ini adalah seorang dokter lulusan Nederlands Indische Artsen School (NIAS) atau “Sekolah Dokter Jawa” di Surabaya. Setelah lulus pada 1941, dia menjadi dokter pemerintah kolonial. Dia kemudian pindah ke Australia bersama aparat pemerintahan dan militer Belanda di masa Jepang menduduki Indonesia. Di Australia, kabarnya dia bekerja sebagai tenaga kesehatan di dinas intelijen pasukan Sekutu. Di sinilah dia berkenalan dengan sejumlah orang yang berpengalaman dalam operasi-operasi intelijen, dan kemungkinan di sini juga dia mulai tertarik pada dunia intelijen.
 
buku-kode-c-merupakan-buku-kode-sandi-buatan-roebiono-www-agniamedia-com
 
Sebagaimana dikutip dari amp.tirto.id, Roebiono tidak mengenyam pendidikan persandian secara formal, namun hanya berupa kursus singkat pengenalan sandi dari Kementerian Luar Negeri Belanda pada tahun 1949. Namun melalui bacaan serta imajinasi, logika dan intuisi, diciptakanlah sistem-sistem sandi sendiri. Walaupun tanpa ilmu pengetahuan yang memadai mengenai teknis kriptografi dan hanya dibantu oleh tenaga-tenaga yang juga awam sandi, sistem-sistem sandi buatan sendiri tersebut terbukti efektif dan dapat diandalkan untuk mengamankan komunikasi berita di medan peperangan, di dalam perundingan-perundingan antara pemerintah RI dengan Belanda dan dengan PBB, pada komunikasi pemberitaan di perbatasan dan di dalam gerilya di daerah dan pedalaman. 

Seperti ditulis pada situs wilkipedia.org, sebagai perintis dan pendiri persandian di Indonesia, Roebiono telah mempunyai pemikiran dan konsep yang jelas tentang kedudukan suatu badan persandian dalam struktur pemerintahan negara. Hanya berbekal daya nalar dan dilandasi semangat juang yang pantang menyerah itulah, bapak Roebiono dan kawan-kawannya merintis persandian di Indonesia. Seiring dengan waktu, persandian di Indonesia terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi yang digunakan. 
 
Bermula dari hanya sebuah ruangan kecil tempat kegiatan sandi berlangsung dan alat yang diguanakan pun masih berupa pensil dan kertas, kini telah menjadi sebuah institusi mandiri dengan peralatan yang jauh lebih kompleks. Perekrutan dan pendidikan tenaga sandi (sandiman) pun ikut berkembang dengan pesat. Dari hanya sebuah kursus singkat (seperti magang) menjadi setingkat akademi, bahkan kini telah menjadi Sekolah Tinggi. 
 
Roebiono yang sebelumnya bertugas sebagai seorang dokter di Kementerian Pertahanan RI bagian B (intelijen). Pada tanggal 4 April 1946 dengan menyandang pangkat Letkol, Roebiono mendapat perintah dari Amir Syarifuddin, Menteri Pertahanan RI saat itu, untuk mendirikan sebuah badan yang mengelola persandian nasional. Pada masa itu, rumah Marto Setomo, seperti dikutip dari ritro.id, dijadikan markas bagi para code man, penulis kode rahasia informasi negara. Rumah itu berdiri di lereng pegunungan Menoreh—30 km ke arah barat dari pusat Yogyakarta. Rimbunan pohon dan bukit-bukit yang menjulang menyembunyikannya dari mata pilot pesawat Belanda. Belakangan rumah itu disebut “rumah sandi” dan kini masuk dalam wilayah Dukuh, Purwoharjo, Samigaluh Kulon Progo.
 
diorama-yang-menggambarkan-uang-kerja-roebiono-www-agniamedia-com
 
Di rumah itulah Letnan Kolonel Dr. Rubiono, kepala Dinas Code, mengambil langkah penting dalam sejarah sandi negara di Indonesia. Ia memerintahkan anak buahnya untuk memantau perkembangan Republik ketika Yogyakarta jatuh akibat Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Informasi dari titik-titik gerilya di di wilayah Republik dipantau dari rumah itu. Informasi berharga tersebut lantas diteruskan kepada T.B. Simatupang di Banaran. Banaran berjarak sekitar lima kilometer ke arah barat dari rumah Ponijan. Di kampung itulah Simatupang memantau situasi Republik di kota Yogyakarta sekaligus menyusun strategi setelah Yogyakarta jatuh dan Sukarno-Hatta ditawan Belanda. Beruntung, keduanya sempat memerintahkan Syafruddin Prawiranegara membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. 

Saat Yogyakarta dikuasai, stasiun-stasiun radio telegram di Bukittinggi ikut dibombardir. Akibatnya, para pegawainya kocar-kacir. Beruntung, mereka masih bisa menyelamatkan radiogram ke hutan-hutan dan berhasil menerima siaran dari Jawa. Baru pada akhir Januari 1949, kata Simatupang, hubungan radio telegrafis antara Jawa dan Sumatra itu pulih. Dari Sumatra informasi diteruskan lagi ke perwakilan Indonesia ke New Delhi, di sana ada A.A. Maramis yang ditunjuk untuk mendirikan republik perwakilan jika pemerintah darurat di Sumatra gagal. 
 
Sejarah mencatat, dari hubungan radiogram itulah dunia tahu Republik Indonesia masih berdiri. Akhir Januari 1949, Simatupang bisa sedikit lega. Titik-titik gerilya di Gunung Kidul, Gunung Lawu, Sumbing, dan Lawu bisa terorganisir melalui “radio-telegrafis”. Demikian pula hubungan dengan luar negeri yang belakangan sangat menentukan dalam perundingan Indonesia-Belanda di hadapan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). 

Situasi itu jauh lebih baik dibanding pagi kelabu 19 Desember 1948. Ketika Kolonel T.B. Simatupang buru-buru pergi dari Markas Besar Jawa (markas angkatan perang wilayah Jawa) dan jawatan sandi di Jalan Batanawarsa, Yogyakarta. Di jawatan sandi itulah ia menemui Rubiono. “Kepada Dr Rubiono, dokter sandi kita, saya minta supaya diusahakan agar hubungan dengan Bukittinggi terus menerus terbuka, sebab besar kemungkinan kabinet akan mengirimkan telegram,” pesannya. Pesan itu didengar Rubiono, tapi tak sepenuhnya bisa dilaksanakan sebab pasukan Belanda terlanjur dekat dengan kantor Jawatan Sandi. Rubiono akhirnya menyuruh anak buahnya untuk berpencar menyelamatkan diri dan membawa peralatan sandi, termasuk Buku C, buku berisi sandi-sandi yang ia buat dua tahun sebelumnya. Buku itulah yang dijadikan patokan sandi negara. 
 
peninggalan-roebiono-disimpan-di-museum-sandi-yogyakarta-www-agniamedia-com

Sebagaimana diberitakan oleh tirto.id, Rubiono belajar sandi secara autodidak, dimana ilmu itu ia dapatkan dari pengalaman selama menjadi tenaga medis dan sering berkomunikasi secara rahasia dengan tentara. Sampai akhirnya ia memiliki insting dan intuisi untuk menciptakan sandi. Di dalam Buku Kode C buatan Rubiono itu terdapat tanda baca, cara menulis, arti, dan lain sebagainya, dimana satu sama lain tidak ada kesamaan. Buku Kode C itu terdiri dari 10.000 kata dalam bahasa Inggris dan Belanda. Buku ini menjadi pedoman para penulis kode di awal-awal Republik berdiri. Namun, sandi-sandi itu selalu diubah tiap minggu atau bulan untuk menghindari kebocoran.

Selama kurun 1946 sampai 1948 sandi buatan Rubiono terus digunakan. Sandi tersebut juga dipakai saat Indonesia menghadapi perundingan-perundingan dengan Belanda. Termasuk ketika terjadi Serangan Oemoem Satu Maret 1949 yang memberi pesan kepada dunia Internasional bahwa Indonesia masih bisa melawan, Indonesia masih ada. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Peristiwa 6 jam di Yogya. 
 
Sandi buatan Rubiono inipun ternyata pernah bocor, pada saat pemerintah Indonesia membuat pemerintahan darurat di Sumatra (PDRI), radiogram yang bocor. Kabar itu sampai di telinga petinggi Belanda, dimana hal ini terekam melalui laporan CMI (nama dinas intelijen Belanda) mengenai PDRI yang dikeluarkan di Batavia 7 Juni 1949. Namun, informasi yang didapat Belanda itu terlambat.

Semua pejuang Republik akhirnya keluar dari persembunyian ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Agustus 1949. Rubiono yang sebelumnya pergi ke Jawa Barat kembali menjabat sebagai Kepala Jawatan Sandi Negara. Tidak banyak yang bisa diceritakan dari Rubiono selama Indonesia dalam kekuasan Sukarno. 
 
Dua lembar surat keputusan yang diteken Sukarno pada 23 Noveber 1954 sedikit memberi petunjuk tentang dirinya. Pada surat itu disebutkan Rubiono sebagai Kepala Jawatan Sandi ditunjuk sebagai anggota “Panitia Negara untuk Penjelidikan Radio-aktivitet”. Panitia ini bertugas menyelidiki potensi atom sebagai sumber energi baru di Indonesia. Di kepanitiaan itu ia bertugas bersama G.A. Siwabessy, ahli atom yang bekerja di Kementerian Kesehatan. Sahabatnya semasa di NIAS. 
 
museum-sandi-didirikan-di-yogyakarta-atas-gagasan-sultan-hamengkubuwono-x-www-agniamedia-com

Sampai menjelang kekuasaan Sukarno berakhir pada 1965, nama Rubiono kembali muncul. Ia disebut sebagai anggota tim dokter tentara yang melakukan autopsi terhadap tujuh Pahlawan Revolusi atas perintah Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban. Namun, saat itu laporan rinci tentang autopsi tidak pernah dipublikasikan. 
 
Sebagaimana diketahui, informasi yang beredar selanjutnya menyatakan sebelum jenazah para jenderal dibuang ke sumur di Lubang Buaya mereka disebut mengalami penyayatan keji. Tubuh mereka disayat dengan silet sebagaimana digambarkan dalam film Pengkhianatan G30 S/PKI. Atas nama rahasia tentara, Rubiono bungkam setidaknya sampai Soeharto menjabat sebagai pejabat Presiden pada 1967. Sejak tahun itu, peran Rubiono dalam telekomunikasi Indonesia terhitung penting. Ia menjabat sebagai Dewan Telekomunikasi Indonesia sekaligus mendirikan Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari). 

Rubiono pula yang mewakili Indonesia dalam konferensi Intelsat. Intelsat merupakan perusahaan layanan satelit terkemuka dengan anggota Amerika Serikat (AS), Australia, Jepang, Kanada, dan Tujuh Negara Eropa. Perusahaan ini berencana meluncurkan Intelsat lll yang mengorbit di daerah Samudra Hindia pada 26 Januari 1967. Pada surat delegasi AS tertanggal 4 Maret 1969, disebutkan Rubiono memiliki kesan terhadap delegasi AS bahwa rencana peluncuran satelit itu itu hanya untuk kepentingan Intelsat. 
 
Karenanya ia mengusulkan satelit juga diperuntukkan bagi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Delegasi AS menyetujui usulan itu dengan syarat sistem satelit di Indonesia sesuai dengan Intelsat dan bersedia membayar setiap akses terhadap satelit itu. Belakangan akses satelit Intelsat III dipakai oleh Indosat dan mulai beroperasi secara komersial selama 20 tahun sejak September 1969.

Peran Rubiono tak hanya di bidang telekomunikasi, di bidang kesehatan keahliannya masih dibutuhkan. Ia ditunjuk Soeharto untuk menjadi dokter kepresidenan. Salah satu tugasnya adalah mengawasi kondisi kesehatan Sukarno selama “disingkirkan” Soehato. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, pada artikelnya di Jawa Pos menulis, ada perbedaan perlakuan antara Soeharto dan Sukarno ketika mereka sama-sama menjadi mantan kepala negara. Soeharto memperoleh hak dan fasilitas, sementara Sukarno menjadi semacam tahanan rumah di Wisma Yaso dan tidak boleh dikunjungi masyarakat umum. 
 
Rachmawati pernah menanyakan kondisi Bung Karno kepada Rubiono selaku dokter kepresidenan, bahwa ayahnya menderita gagal ginjal saat dirawat di RSPAD, tapi mengapa tidak dilakukan cuci darah
Sampai kemudian Sukarno wafat pada 21 Juni 1970, cuci darah itu tak pernah dilakukan. Sementara setahun kemudian Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1971 meluncur. Isinya tentang perintah Soeharto untuk membangun RSPAD, ditetapkan dalam Keppres bahwa Mayjen TNI Dr. Roebiono Kertopati ditugaskan sebagai Ketua Dewan Pengawas. Kala mendapat tugas itu, Rubiono juga masih menjabat sebagai Kepala Sandi Negara. 
 
batu-prasasti-berisi-quote-dari-roebiono-tersimpan-di-museum-sandi-www-agniamedia-com
 
Pada tanggal 23 Juni 1984 sang penerima 11 bintang jasa (utama) dari pemerintah Indonesia ini wafat dan dimakamkan di TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata. Sampai akhir hayatnya ia tetap berjuang untuk memajukan persandian di Indonesia, suatu bidang perjuangan yang masih langka dan merupakan kegiatan yang tidak dikenal. Motto yang selalu didengungkan kepada seluruh anak buahnya yang bekerja sebagai tenaga sandi adalah Berani Tidak Dikenal. Almarhum Mayor Jenderal TNI (Purn.) dr. Roebiono Kertopati dinobatkan sebagai Bapak Persandian Negara Republik Indonesia. 

Sebagaimana dikutip dari healthcoverage.me, Buku Kode C yang terdiri dari 10 ribu kata sandi buatan Roebiono diperbanyak enam rangkap atau eksemplar. Diketahui sandi bikinan Roebiono dapat dikategorikan sebagai sistem yang kuat dan dikenal sebagai double encipherment. Sandi tersebut akan sulit dipecahkan, namun akan semakin terbaca kode rahasia tersebut bila jatuh ke tangan musuh. 
 
Roebiono sebagai perancang sistem sandi negara pertama, dianggap paling mampu mengelola persandian di Indonesia dan menjadi penentu kebijaksanaan persandian Indonesia. Dengan penuh ketelitian Roebiono membuat sistem kode berupa angka atau bilangan dari nol sampai sembilan. Sandi itu digunakan dalam badan pemberitaan rahasia yang disebut Dinas Code. Dalam waktu dua bulan, Roebiono membuat buku panduan membaca sandi-sandinya (Buku Kode C).

0 Response to "11 APRIL 1914, HARI LAHIRNYA ROEBIONO KERTOPATI, BAPAK PERSANDIAN INDONESIA"

Post a Comment