3 MARET 1947, PEMBERONTAKAN BERSENJATA DI SUMATERA BARAT (PERISTIWA 3 MARET)

 
Pada tanggal 3 Maret 1947 terjadi pertempuran di wilayah Karesidenan Sumatera Barat tepatnya di Ibu Kota Bukittinggi. Pertemputan ini terjadi dimana pasukan bersenjata yang memiliki relasi dengan laskar Hizbullah, merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah. Oleh karena itu, mereka melakukan pemberontakan yang berpusat di markas pemerintahan di Bukittinggi. Dalam buku berjudul "Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998" yang ditulis oleh Audry Kahin dan diterbitkan tahun 2005, menyebut bahwa kelompok yang melakukan pemberontakan ini di berada bawah komando Hizbullah, yaitu Sjamsuddin Ahmad. Tujuan utama dari pemberontakan ini adalah untuk merebut kekuasaan pemerintah Republik serta menculik kepala pemerintahan saat itu, Muhammad Rasjid beserta Komandan Militer Ismail Lengah. 

Insiden pemberontakan ini kemudian berakhir dengan kegagalan setelah Polisi Militer (PM) berhasil menangkap beberapa tokoh pemimpin dari gerakan pemberontakan tersebut. Sementara itu beberapa anggota laskar pemberontak juga berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Namun berselang beberapa hari, para anggota tersebut dibebaskan dengan diberi bekal uang dan pakaian. Para tokoh pimpinan pembeontakan diadili, dengan dua pemimpin utama masing-masing dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan hukuman pembebasan bersyarat. Pasca indisen pemberontakan tersebut, para pimpinan pemerintahan Pusat Republik Indonesia memutuskan agar milisi Islam harus dimasukkan ke dalam struktur komando militer. Diharapkan proses integrasinya bisa diselesaikan di akhir tahun pada tahun yang sama kala peristiwa pemberontakan itu terjadi.

Pertempuran bersenjara yang terjadi di kota Bukittinggi pada tanggal 3 Maret 1947 ini melibatkan beberapa anggota TNI dan para pejuang laskar. Bahkan kala itu, para pemberontak yang berada si luar Bukittinggi berhasil menangkap beberapa pejabat sipil, salah satunya yaitu Kolonel (Tituler) Rusad Datuk Perpatih Baringek atau dikenal sebagai Wedana Rusad yang merupakan mantan Residen Sumatra Barat (sekarang disebut gubernur) dan kala itu ia tengah diperbantukan pada Gubernur Sumatera di Medan. Di antara tokoh pemberontakan yakni organisatoris dan pendiri cabang Muhammadiyah Padangpanjang Saalah Yusuf Sutan Mangkuto dan ulama Padang Panjang Syekh Haji Adam B.B. atau Syekh Adam Balai-Balai bersama sejumlah tokoh laskar Islam Hizbullah, Sabilillah, dan Lasjmi. 

Laskar Hizbullah yang terlibat dalam pemberontakan ini, merupakan laskar rakyat pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka terdiri dari para kyai, pemuda Islam dan para santri di seluruh pelosok negeri. Dimasa penjajahan Belanda Laskar ini masih terpinggirkan dan belum diakui, namun saar pergantian pemerintahan di masa pendudukan Jepang, kaskar ini dilirik oleh Jepang untuk dijadikan pasukan pembantu saat mereka terdesak pada masa Perang Dunia Ke II. Jepang kemudian melatih para santri dan memberikan mereka pelatihan militer dalam sebuah unit yang saat itu diberi nama PETA (Pembela Tanah Air). Latihan pertama mereka dilakukan di Cibarusah, Bekasi dengan 500 pemuda muslim. Latihan selesai pada Mei 1945 dan seluruh anggota diminta pulang ke daerah asal dan mendapatkan tugas untuk merekrut lebih banyak lagi anggota laskar Hizbullah.

Di bawah kepemimpinan  KH. Zainul Arifin, dalam waktu singkat, laskar Hizbullah menjadi kekuatan baru umat Islam dan bangsa Indonesia. Misi utama mereka adalah mengusir penjajah dan memerdekakan Tanah Air. Salah satu perang yang cukup monumental dalam sejarah Indonesia dan Laskar Hizbullah adalah ketika meletusnya Pertempuran Ambarawa. Pada 21 November 1945, sekutu yang tengah terdesak akibat serangan pasukan yang dipimpin Jenderal Sudirman, bergerak menuju Semarang. Bersama dengan pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Laskar Hizbullah, bersama laskar-laskar lainnya, bergerak serentak menuju Ambarawa dan mengepung kota tersebut dan berhasil memukul mundur pasukan sekutu. Laskar Hizbullah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa silam.

Di Sumatera Barat, laskar-laskar islam terbukti memiliki peran dalam membantu memperkuat keberadaan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi cikal-bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa perjuangan kemerdekaan. Tidak hanya memperkuat keberadaan Tentara Keamanan Rakyat (TKR),  laskar-laskar jihad yang pernah ada di Sumatra Barat, menjadi barisan terdepan dalam membela Indonesia dari serangan tentara Sekutu dan NICA, termasuk juga dari Gempuran Agresi I dan dan Agresi II Belanda. Di Sumatra Barat atau Minangkabau sebelum kemerdekaan parnah berdiri Majelis Islam Tinggi (MIT) yang didirikan oleh alim ulama seluruh Minangkabau, sebagai wadah bermusyawarah menghadapi politik pemerintah Jepang. MIT inilah yang kemudian melahirkan Laskar Sabilillah.

Lakar Sabilillah bukanlah satu-satunya laskar yang ada di Sumatera Barat, ada juga Laskar Hizbullah yang dibentuk oleh Muhammadiyah sejak Oktober 1945, lalu ada Laskar Muslimin Indonesia (Lasjmi) dan Laskar Muslimat yang dibentuk oleh Partai Islam PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Selain itu ada pula “Tentara Allah” yang dibentuk oleh Partai Politik Tarikat Islam (PPTI). Seluruh laskar-laskar jihad dan Barisan Rakyat yang pernah ada di Sumatra Barat,  seperti Barisan Sabilillah, menggelar latihan militer untuk para anggotanya. Dalam latihan, “pasukan jihad” ini diajari baris-berbaris, menyerang musuh, bergerilya, cara menggunakan senjata api, termasuk bongkar pasang karaben buatan Jepang, Italia, maupun Inggris. Secara keseluruhan, laskar-laskar jihad dan barisan-barisan rakyat bersenjata yang pernah ada di Sumatra Barat pada zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia, memiliki markas utama di Bukittinggi. Begitu pula dengan organisasi dan partai-partai politik yang membiayainya. 

Sejak tahun 1947 sudah dilakukan upaya-upaya oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk menyatukan seluruh laskar-laskar dan barisan rakyat yang ada di Sumatera Barat. Hal ini didasarkan pada semangat Dekrit Presiden 5 Oktober 1945 tentang Pembentukan TKR dan Maklumat Komite Nasional Indonesia Pusat 9 Oktober 1945 yang mengimbau laskar-laskar dan Barisan-Barisan Rakyat, bergabung dalam TKR/TRI. Upaya menyatukan laskar-laskar jihad dan barisan rakyat di Sumatra Barat ini dilakukan setelah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi. Pembentukan ini ditandai dengan adanya Divisi III TKR/TRI Sumatera Barat dan Riau. Divisi II TKR/TRI Sumatera Barar dan Riau ini, membawahi 4 Resimen dan 14 Batalyon. Komandan Resimen I Divisi III TKR/TRI yang berkedudukan di Bukittinggi adalah Letnan Kolonel Syarif Usman. Saat menjabat ini, Syarif Usman berupaya menyatukan komando laskar-laskar jihad dan barisan rakyat dengan komando TKR/TRI.

Pada 3 Maret 1947 atau sebelum laskar-laskar jihad dan barisan rakyat digabungkan dalam Legiun Syahid, sempat terjadi semacam “salah paham” terkait kerja sama atau koordinasi sipil dan tentara yang sempat berujung dengan kontak senjata di Bukittinggi atau yang dikenal dengan "Peristiwa 3 Maret". Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya Peristiwa 3 Maret ini, diantaranya yaitu adanya perbedaan pelayanan perbekalan antara pasukan tentara reguler Devisi IX Banteng dan perbekalan untuk laskar. Yang mana, perbekalan tentara Devisi IX jauh lebih baik dibandingkan dengan perbekalan milik laskar, yang sama-sama bertugas di Padang Area. Disisi lain, sebagaimana yang ditulis dalam buku "Etnik, Elite dan Integrasi Nasional" yang terbit tahun 2005, pemberontakan yang dilakukan laskar Hizbullah juga dipicu ketidakpuasan mereka terhadap pemimpin perjuangan di daerah yang bersikap lembek dan tidak becus terhadap Belanda. Hal ini yang kemudian menjadi latar belakang pemberontakan di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Sehari sebelum pemberontakan, tepatnya pada 2 Maret 1947, para tokoh dan ulama di Sumatra Barat mengadakan rapat di Padangpanjang. Dalam pertemuan ini, dihadiri oleh Kolonel Ismail Lengah, komandan Divisi Tentara Rakyat Indonesia Sumatera Tengah dan juga Residen Sumatra Barat, Sutan Mohammad Rasjid. Yang mana kedua tokoh tersebut hadir dan memberi sambutan. Sementara itu, Jenderal Mayor Hizbullah Bachtiar yang hadir dalam pertemuan itu menganggap bahwa seluruh jajaran pemerintah Sumatra Barat dan pihak militer tidak kompeten dalam menangani masalah. Tudingan tersebut kemudian ditanggapi oleh Ismail Lengah, seorang tentara sejak zaman Jepang, yang menyebut bahwa serangan yang dilakukan militer tidak hanya lewat kata-kata seperti Bachtiar Junus.

Setelah pertemuan itu, tepatnya pada malam 3 Maret 1974, kelompok anti pemerintah yang bersenjata menuju kediaman Residen Sutan Mohammad Rasjid dan Ismail Lengah di Bukittinggi. Pasukan bersenjata yang dipimpin oleh Hizbullah Syamsudin Ahmad ini hendak menculik kedua tokoh tersebut. Unit-unit bersenjata itu berasal dari laskar Islam mengangkat senjata melawan pemerintah Republik di Bukittinggi dan beberapa kota lain di Sumatra Barat. Adapun pemberontakan ini dilakukan oleh laskar mandiri dan di luar dari tentara reguler. Yang mana sebagian besar kelompok ini berasal dari partai politik Islam dan laskar agama serta sekuler. Upaya penculikan tersebut gagal dilakukan oleh pasukan bersenjata. Pasalnya, kediaman Residen Rasjid dijaga oleh Mobile Brigade dari kepolisian, sehingga sulit ditembus. Akhirnya, mereka hanya bisa menangkap para pamong praja yang dulunya pernah bekerja pada zaman Belanda dan Jepang.

Tujuan utama pemberontakan yang dilakukan pasukan bersenjata itu untuk merebut kekuasaan dari pemerintah Republik. Selain itu, laskar Islam juga ingin menculik Residen Muhammad Rasjid dan Komandan Militer Ismail Lengah serta pejabat lainnya. Namun, sebelum pasukan bersenjata datang, kedua pemimpin tersebut telah disiagakan untuk kemungkinan terjadinya pemberontakan. Sementara pasukan pimpinan Hizbullah Syamsudin Ahmad sendiri kurang memiliki daya kejut karena sudah terprediksi. Kendati demikian, sempat terjadi kontak tembak di Bukittinggi selama beberapa jam. Namun, sebelum berhasil masuk kota, kelompok penyerang sudah menyerah. Selain tak berhasil menangkap Rasjid dan Ismail, gerakan ini ternyata lemah dan tak terorganisir.

Karena pengetahuan sebelumnya, para pemimpin militer Republik telah menyusun rencana operasional yang mendikte kebijakan kekerasan minimal untuk mencegah kerugian. Orang-orang Hizbullah dicegat dan dikepung, saat mereka mentyatakan menyerah persenjataan mereka dilucuti. Beberapa pria anggota milisi pemberontakan yang berusaha melarikan diri dengan cara membaur dengan warga sipil tidak dikejar.Di luar Bukittinggi, para pemberontak berhasil menangkap beberapa pejabat sipil (seperti calon menteri Eny Karim, Roesad Datuk Perpatih Baringek dan  Anwar Sutan Saidi), tetapi keesokan harinya para pemimpin utama pemberontakan telah berhasil ditangkap. Di Bukittinggi, seorang tentara biasa tewas dan salah satu pemberontak terluka.

Pasca ditangkapnya para tokoh pemberontakan, peristiwa ini sempat disidangkan oleh hakim-hakim yang terdiri dari Jenderal Mayor Tituler Mr Harun Al-Rasyid, Letkol Burhanuddin, Mayor Abunawas, dan Syekh Abbas Abdullah, serta sempat membuat Menteri Penerangan saat itu, Mr Muhammad Natsir, turun tangan ke Sumatra Barat. Mr. Muhammad Natsir yang juga pemimpin Masyumi melakukan perjalanan ke Bukittinggi memimpin delegasi Masyumi untuk menyelidiki insiden tersebut, menyimpulkan bahwa Partai Masyumi sendiri tidak terlibat dalam insiden tersebut, meskipun melibatkan sejumlah anggotanya. Tokoh ulama Buya Hamka juga ikut ambil bagian menjadi pembela dalam persidangan di depan hakim pengadilan.

0 Response to "3 MARET 1947, PEMBERONTAKAN BERSENJATA DI SUMATERA BARAT (PERISTIWA 3 MARET)"

Post a Comment