16 FEBRUARI 2005, BERLAKUNYA PROTOKOL KYOTO TENTANG PEMANASAN GLOBAL

 
Salah satu isu yang cukup mewarnai dinamika hubungan internasional dewasa ini adalah isu tentang pemanasan global. Isu ini menjadi menarik dikarenakan sifatnya yang kompleks serta dampak yang ditimbulkannya bagi iklim dunia. Sehingga dalam penyelesaiannya pun memerlukan adanya kerjasama multilateral diantara negara-negara di dunia. Pemanasan global merupakan gejala meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Gas Rumah Kaca (GRK) dihasilkan oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih guna lahan. Yang dikategorikan kedalam Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O), Hydrofluorocarbon (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs) dan Sulphur hexafluoride (SF6). 

Sebagai upaya untuk mengatasi semakin meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) serta mencegah semakin meluasnya dampak lingkungan yang diakibatkannya, negara-negara di dunia mencoba menerapkan sebuah kesepakatan bersama yang diberi nama "Protokol Kyoto". Perlu diketahui bahwa berbagai macam Gas Rumah Kaca (GRK) yang disebutkan diatas, mereka memiliki sifat khusus yang dapat meneruskan radiasi Gelombang-Pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi Gelombang-Panjang atau Radiasi-Balik dari bumi yang bersifat panas sehingga menyebabkan suhu atmosfer bumi meningkat. Menumpuknya gas tersebut akan menimbulkan keadaan di dalam bumi seperti keadaan di dalam rumah kaca yang selalu lebih panas dibanding suhu udara diluarnya. Dari teori inilah, gas-gas tadi diberi nama "Gas Rumah Kaca" dan pengaruh yang ditimbulkannya dikenal dengan istilah "Efek Rumah Kaca", yang menimbulkan pemanasan global sehingga terjadi masalah "Perubahan Iklim (Climate Change)".
 
gambaran-efek-rumah-kaca-www-agniamedia-com
 
Pada dasarnya prediksi akan terjadinya pemanasan global sudah diungkapkan oleh seorang ahli dari Swedia yaitu Svante Arrhenius5, pada tahun 1896. Arrhenius mengungkapkan bahwa sejak terjadinya revolusi industri, tingkat kadar karbon dioksida di atmosfer semakin meningkat karena penggunaan bahan bakar fossil yang semakin meningkat. Dengan adanya peningkatan karbon dioksida diatmosfer, maka jelas sekali bahwa penyebab pemanasan global sudah diproduksi oleh manusia sejak revolusi industri. Secara ilmiah pemanasan global dikarenakan keadaan suhu bumi sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan antara energi yang datang dari matahari dalam bentuk radiasi dengan energi yang diemisikan dari permukaan bumi ke ruang angkasa dalam bentuk radiasi infra merah. Biasanya radiasi matahari melewati atomosfer yang kemudian sebagian besar diserap oleh permukaan bumi. Sedangkan radiasi infra merah dari permukaan bumi sebagian diserap oleh gas rumah kaca (GRK) sebagian lagi ke permukaan bumi dan atmosfer bawah. 
 
svante-august-arrhenius-bicara-tentang-pemanasan-global-www-agniamedia-com
 
Masalahnya yang terjadi saat ini adalah konsentrasi gas rumah kaca semakin bertambah melebihi tingkat normal sehingga sebagian radiasi yang berasal dari matahari maupun permukaan bumi terjebak oleh gas-gas rumah kaca yang mengakibatkan radiasi tidak dapat ke luar angkasa dan kembali ke permukaan bumi sehingga memanaskan suhu bumi. Pemanasan global merupakan ancaman global yang harus diperhatikan oleh seluruh masyarakat di dunia. Ancaman akan terjadinya bencana terbesar sepanjang masa menjadikan isu ini menjadi isu yang patut dibicarakan dan diteliti lebih dalam. Masyarakat pada umumnya harus mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan pemanasan global. Sebab, sebagian besar masyarakat di dunia masih belum sadar akan dampak dari aktivitas sehari-harinya sebagai faktor penyebab terjadinya pemanasan global. Oleh karena efeknya yang mengancam eksistensi dunia, maka isu pemanasan global menjadi tanggung jawab setiap negara diseluruh dunia.

Negara-negara di dunia telah membahas lebih lanjut mengenai Pemanasan Global sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1972 diselenggarakan Konferensi Stokholm, konferensi ini merupakan awal dari diplomasi mengenai lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh negara-negara anggota PBB. Deklarasi Stokholm yang disepakati pada tahun 1972 merupakan hasil dari konferensi Stokholm.9 Deklarasi ini menjadi titik awal dari konferensi internasional lainnya yang membahas mengenai lingkungan hidup. Hasil lain di konferensi ini adalah dibentuknya suatu badan lingkungan hidup yaitu UNEP (United Nations Environmental Programme) pada tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pasca konferensi Stokholm pada tahun 1988 masyarakat internasional kemudian membentuk IPCC (Intergovermental Panel of Climate Change) yang ditujukan untuk melakukan penelitian lebih lanjut akan dampak dari pemanasan Global. 

IPCC kemudian diresmikan pada tahun 1991 yang kemudian memimpin seluruh negara untuk menandatangani perjanjian kerjasama yang diresmikan di Rio de Jenero pada 1992. Rio de Jenero merupakan tampat berlangsungnya KTT Bumi yang merupakan koferensi penting dalam isu lingkungan. Konferensi tersebut dihadiri oleh 180 negara anggota PBB yang merupakan konferensi pertama yang dihadiri oleh keseluruhan negara anggota PBB. Konferensi tersebut menghasilkan Konvensi kerjasama yang terkait dengan isu pemanasan global yang kemudian di sebut dengan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) kemudian diresmikan di Rio de jenero. KTT Bumi 1992 merupakan KTT yang menjadi sejarah pertama kalinya pera pemimpin semua negara di bumi berkumpul untuk membuat keputusan penting yang akan memberikan betuk masa depan dunia.  KTT Bumi dapat dikatakan sebagai era puncak dari diplomasi lingkungan dan akan menentukan masa depan umat manusia menjelang berakhirnya abad ke-20.

APA ITU PROTOKOL KYOTO
Protokol Kyoto adalah sebuah perjanjian bersama antar negara yang dibuat untuk tujuan mengatur tingkat emisi gas rumah kaca dalam rangka mengatasi masalah pemanasan global (Global Warming). Perjanjian ini merupakan hasil kesepakatan dalam rangka melaksanakan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai perubahan iklim. Sesuai dengan namanya, Protokol Kyoto ini dinegosiasikan di Kyoto, Jepang pada Desember 1997 saat dilangsungkannya Sidang ketiga Konferensi Para Pihak (Third Session of the Conference of Parties, COP-3) dan diadopsi melalui kepurusan (Decision 1/CP.3). Meski demikian, Protokol Kyoto baru berlaku pada 16 Februari 2005. Salah satu hal yang menghambatnya hingga bertahun-tahun adalah sulitnya menarik negara-negara dengan buangan emisi yang besar untuk bergabung--contohnya Cina, Amerika Serikat, hingga Rusia.
 
protokol-kyoto-untuk-pengurangan-efek-gas-rumah-kaca-www-agniamedia-com
 
Kerangka Konvensi UNFCCC membentuk badan pengambilan keputusan tertinggi yaitu Pertemuan Para Pihak (Conference of the Parties, COP) untuk mencapai tujuannya. Pertemuan Para Pihak berperan dalam mengkaji, memantau pelaksanaan Konvensi dan kewajiban para Negara Pihak. Pertemuan Para Pihak juga mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi, membuat rekomendasi kepada Para Pihak, dan mendirikan badan badan pendukung jika dipandang perlu. Otoritas pengambilan keputusan tertinggi di bawah UNFCCC dilaksanakan melalui COP/CMP yang merupakan pertemuan tahunan Para Pihak United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC dan Conferences of the Parties serving as meeting of parties to the Protokol Kyoto (CMP). Pertemuan COP/CMP didukung oleh 2 (dua) badan yaitu Badan Pendukung terkait dengan aspek ilmiah dan teknologi atau Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Badan Pendukung Untuk Pelaksanaan Konvensi atau Subsidiary Body for Implementation (SBI). 

SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah serta teknologis secara tepat waktu kepada COP, sedangkan SBI membantu COP mengkaji pelaksanaan dari Konvensi. Conference of Parties (COP) pertama kali diselenggarakan di Berlin Jerman pada tahun 1995. Konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 28 Maret s/d 7 April tersebut membahas mengenai Germany Mandate yang merupakan sebuah konsep awal sebuah protokol, yang kemudian diresmikan sebagai Protokol Kyoto tiga tahun kemudian. Pada COP1 yang deselenggarakan di Berlin, Jerman tersebut membahas mengenai penangananemisi terkait dengan isu adanya ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang dalam isu lingkungan. Isu yang dibahas kemudian adalah mengenai perlunya transfer tekhnologi dari negara maju terhadap negara berkembang. 

Conferense of Parties II diadakan di Geneva, Swiss (8-19 July 1996). COP2 membahas mengenai persiapan para delegasi untuk membuat sebuah Protokol yang kemudian dinamakan sebagai Protokol Kyoto. Ini merupakan objek utama dalam mengidentifikasi pengurangan emisi GRK dan melibatkan seluruh Negara. Penurunan emisi GRK lebih difokuskan kepada negara-negara Annex 1.
 
negara-negara-annex-1-protokol-kyoto-www-agniamedia-com

 Pada saat dinegosiasikan, Protokol Kyoto dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto merupakan dasar bagi Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka, dengan tingkat pengurangan paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi yang dihasilkan di tahun 1990 dan diukur menjelang periode 2008-2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini, menempatkan beban terhadap negara-negara maju, dengan berdasarkan pada prinsip "common but differentiated responsibilities" atau tanggung jawab bersama tetapi berbeda. 

Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB: "Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metana, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia." 
 
peta-negara-negara-annex-1-berdasarkan-protokol-kyoto-www-agniamedia-com
 

KOMITMEN DALAM PROTOKOL KYOTO
Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang mengikat bagi negara-negara maju dibawah UNFCCC untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di atmosfer sebagai akibat dari lebih dari 150 tahun kegiatan industri. Tujuan ditetapkannya Protokol Kyoto adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 UNFCCC yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada level yang tidak membahayakan sistem iklim Bumi. Level konsentrasi emisi GRK di atmosfer tersebut harus dicapai dalam kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan bagi ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim secara alamiah, untuk menjamin produksi pangan dan memungkinkan pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Instrumen hukum internasional ini mengatur hak dan kewajiban negara-negara pihak mengenai bagaimana cara dan tahapan menurunkan tingkat konsentrasi emisi GRK tersebut.

Protokol Kyoto mengatur mekanisme penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dilaksanakan negara-negara maju, diantara mekanisme tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Implementasi Bersama (Joint Implementation)
Joint Implementation (JI) merupakan mekanisme penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi GRK. Poin mekanisme ini tertera pada pasal 6 Protokol Kyoto yang menjelaskan kemungkinan dari negara yang menyepakati Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi GRK serta membatasi proyek yang banyak menghasilkan emisi GRK. Dalam poin tersebut berarti seluruh negara diharuskan bekerjasama dalam mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi GRK.

Dalam beberapa pertemuan Komite Negoisasi Antar Pemerintah (Intergovermental Negotiating Commite, INC) menjelang COP 1 pada tahun 1995, telah dibicarakan mengenai mekanisme Joint Implementation (JI). JI merupakan usulan dari Norwegia, yang mana dimaksudkan agar seluruh negara turut serta dalam mengatasi pemanasan global. Perundingan mengenai Joint Implementation tidak begitu lancar, dikarenakan adanya penolakan dari beberapa negara. Negara anggota OPEC menolak adanya mekanisme Joint Implementation, karena mekanisme tersebut dianggap tidak akan efektif dan dapat menyebabkan negara-negara maju menolak menandatangani Protokol Kyoto. Selain negara anggota OPEC, China dan India juga menolak mekanisme tersebut dan berharap kelompok G77+China akan kompak untuk bersama-sama menolak mekanisme Joint Implementation, sebagai mekanisme yang harus diikuti oleh negara-negara berkembang. G77+China merupakan sebutan bagi kelompok negara berkembang yang mengikuti konferensi pembentukan Protokol Kyoto.

Joint Implementation (JI) merupakan proyek dari Protokol Kyoto terkait penurunan emisi GRK. Proyek tersebut tertera pada artikel ke-6 dalam Protokol Kyoto, bahwa kelompok Annex 1 dapat mengimplementasikan proyek ERUs (Emission Reduction Units) dengan kelompok Annex 1 lainnya. Melalui Proyek Joint Implementation negara-negara Annex 1 dapat mengurangi masing-masing 1 Ton CO2, yang merupakan salah satu target dari Protokol Kyoto. Proyek JI harus memberikan pengurangan yang signifikan dari sumber atau emitor. Sehingga proyek tersebut dapat dilaksanakan mulai tahun 2000 jika telah sesuai dengan prosedur yang ada. Akan tetapi pada dasarnya proyek ERUs mulai efektif dilaksanakan pada tahun 2008.

Dalam implementasi proyek Joint Implementation, terdapat dua prosedur yang dapat dilakukan yaitu Track One atau Track Two. Prosedur pertama atau Track One menyebutkan bahwa, jika host parties dari proyek Joint Implementation (JI) telah memenuhi semua persyaratan untuk mentransfer atau menerima proyek Emision Reduction Units (ERUs) diharuskan untuk memverivikasi proyek tersebut atau meningkatkan pembersihan sesuai dengan proyek JI. Hal tersebut dimaksudkan sebagai tambahan jika proyek tersebut berjalan sebaliknya. Hal tersebut juga dimaksudkan agar adanya penyesuaian proyek Join Implementation dengan peraturan nasional dari negara yang memverivikasi proyek JI, yang kemudian menseleksi setiap proyek agar sesuai dengan target ERUs. Prosedur kedua atau Track Two, jika terjadinya kekurangan dalam melengkapi persyaratan dari proyek Join Implementation (JI).

Maka, proyek tersebut harus diverifikasi dibawah aturan dari Komite Pengawas dari proyek Joint Implementation (Joint Implementation Supervisory Commite, JISC). Dalam prosedure kedua ini JISC bertugas untuk menentukan relevansi dari persyaratan yang telah dipenuhi oleh negara yang akan mentransfer dan menerima proyek ERUs. Sehingga sebelum dilaksanakannya proyek ERUs komite pengawas atau JISC telah memverifikasi bahwa negara tersebut telah siap untuk melaksanakan proyek ERUs. Proyek ERUs yang terdapat dalam mekanisme JI pada dasarnya tidak dapat diterima sepenuhnya oleh negara berkembang. Karena proyek tersebut hanya antar negara maju, sedangkan negara berkembang kurang berperan dalam proyek tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan proyek tersebut cenderung ditujukan kepada negara-negara eropa timur yang notebene merupakan negara yang sedang dalam masa transisi dari negara berkembang menuju negara maju.  Sedangkan di wilayah Asia hanya sedikit memperpoleh jatah proyek ERUs, sehingga mekanisme JI sedikit terhambat oleh faktor-faktor tersebut.

2. Perdagangan Emisi (Emission Trading)
Emission Trading (ET) merupakan mekanisme perdagangan emisi yang dilakukan antar negara industri, dimana negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Poin ini tertera dalam pasal 17 Protokol Kyoto yang mengeharuskan negara maju atau negara yang menghasilkan emisi GRK yang melebihi kapasitas untuk membeli Gas yang dihasilkan negara yang memiliki hutan tropis seperti indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Hal tersebut biasa dianggap sebagai pasar karbon yang memungkinkan negara berkembang mendapat timbal balik dari industrialisasi yang dilakukan oleh negara maju yang menyebabkan pemanasan Global.

Pada pasal 17 Protokol Kyoto,  dijelaskan mengenai perdagangan emisi antar negara yang tergabung dalam annex B. Pasal tersebut menjaelaskan bahwa antar negara annex B yang tertera dalam Protokol Kyoto dapat saling menjual atau membeli emisi guna menstabilkan kadar emisi GRK di dalam atmosfer. Annex B beranggotakan negara-negara Eropa Tengah dan sebagian Eropa Timur serta bebereapa negara pecahan Uni Soviet. Perdagangan Emisi bukan merupakan sebuah mekanisme yang memiliki landasan proyek seperti mekanisme lainnya, yaitu Join Implementation atau Clean Development Mechanisme. Perdagangan emisi tertera pada artikel ke-3 paragraf 10 dan 11 dalam Protokol Kyoto. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa berapa emisi yang dikurangi atau berapa bagian jumlah emisi yang dihasilkan. 

Berarti dalam mekanisme ini terdapat aturan dalam penjualan emisi yang mengharuskan keseimbangan dalam emisi antar penjual emisi dan pembelinya. Hal tersebut berarti dalam perdagangan emisi harus ada stabilisasi antar penjual dan pembeli emisi agar kadar emisi GRK dalam atmosfer tetap stabil. Pada awalnya perdagangan emisi merupakan mekanisme yang alot dibahas saat pembentukkan Protokol Kyoto. Negara-negara Eropa merupakan kelompok yang mengajukan ide mengenai perdagangan emisi guna mengurangi emisi GRK dalam atmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Perdagangan emisi banyak menimbulkan pertanyaan yang menyebabkan deadlocknya pembahasan mengenai mekanisme tersebut. Kendala yang dihadapi dalam pembentukan perdagangan emisi adalah perdagangan emisi kurang signifikan dalam usaha untuk mengurangi emisi serta dianggap belum tentu dapat mengurangi emisi GRK

Akan tetapi, pada tahun 2001 Uni Eropa sebagai penggagas ide perdagangan emisi tetap meresmikan mekanisme tersebut diwilayah Eropa yang meliputi anggota Annex B. Perdagangan emisi dalam implementasinya harus memperhatikan stok emisi negara yang membeli atau menjual emisi. Hal tersebut diperlukan karena dikhawatirkan terdapat pihak yang terlalu banyak menjual emisi untuk kepentingan nasionalnya, sehingga kadar emisi di negaranya tidak diperhatikan. Jadi solusi yang kemudian dikeluarkan adalah setiap negara yang menjual emisi harus memiliki cadangan emisi sekitar 90 persen dari keseluruhan emisi yang dimilikinya. Hal tersebut dilakukan untuk mengontrol ketidakstabilan kadar emisi dalam atmosfer, yang mana tujuan utama dari perdagangan emisi tersebut adalah untuk menstabilkan emisi GRK atau mangurangi kadar emisi GRK dalam atmosfer yang dapat menyebabkan pemanasan global.

3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM).
Clean Development Mechanism (CDM) merupakan mekanisme penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini bertujuan agar negara Annex I dapat mencapai target pengurangan emisi melalui program pengurangan emisi GRK di negara berkembang. Clean Development Mechanism (CDM) adalah sebuah usulan mekanisme fleksibel Protokol Kyoto yang muncul secara tiba-tiba ketika pertemuan yang membahas Protokol Kyoto hendak ditutup pada tanggal 11 Desember 1997 atau sehari setelah mengalami pengunduran dari waktu penutupan yang direncanakan. CDM muncul kepermukaan diawali oleh proposal yang diajukan oleh delegasi dari negara Brazil. Proposal tersebut terkait dengan dana yang dapat digunakan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh negera-negara berkembang.

Dana tersebut dikenal Clean Development Fund, yang mana dana tersebut diperoleh dari denda dari Negara-negara Annex 1 yang tidak taan dalam memenuhi komitmennya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca. Besarnya dana yang dikeluarkan berdasarkan nilai tertentu per ton emisi yang dihasilkan yang melebihi jatah yang seharusnya. Sehingga semakin seringnya terjadi kelebihan batas emisi, maka semakin besar juga dana yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi perubahan iklim. Proposal tersebut mendapat dukungan dari Negara-negara berkembang seperti China, India dan Negara-negara kepulauan kecil. Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan sikap Negara Annex 1 yang merupakan kelompok dari Negara-negara maju. Penolakan tersebut dikarenakan Negara maju merasa seperti dihakimi oleh kesalahan-kesalahannya dan diharuskan membayar denda jika melakukan kesalahan.

Pada dasarnya Negara Annex 1 tidak menolak sepenuhnya proposal tersebut, seperti Amerika serikat yang kemudian tertarik untuk menggodok konsep tersebut. Sampai pada akhirnya China mengusulkan sebuah mekanisme berkelanjutan yang dapat secara nyata mengurangi emisi GRK. Pada saat itulah ide tantang Clean Development Mechanism muncul dan diterima oleh seluruh Negara, karena CDM dianggap lebih fleksibel dalam aplikasi dari konsep mekanisme tersebut. CDM juga merupakan satu-satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang dapat diikuti oleh seluruh Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Mekanisme CDM tertera pada artikel ke-12 dalam Protokol Kyoto, dimana Clean Development Mechanism merupakan mekanisme yang dapat diiikuti oleh semua negara. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari mekanisme CDM.

Terdapat tiga tujuan utama dari terbentuknya CDM, pertama memberikan kesempatan kepada negara non Annex 1 dalam mencapai perkembangan dalam konteks perubahan iklim. Kedua, untuk mengkontribusi objek-objek penting yang terdapat dalam UNFCCC. Ketiga, memberikan tanggung jawab kepada seluruh negara termasuk negara-negara Annex 1 dalam berkontribusi dalam pengurangan emisi GRK, serta berkomitmen sesuai dengan peraturan yang tertera pada Protokol Kyoto. CDM merupakan mekanisme yang paling efektif yang dapat diterima dibandingkan dua mekanisme lainnya, yaitu Emision Trading dan Joint Implementation. Hal tersebut dikarenakan konsepnya yang lebih fleksibel dan kompetitif. Alasan tersebut berkaitan dengan faktor ekonomi negara-negara yang memmverifikasi Protokol Kyoto, terutama bagi negara maju dalam Annex 1. 

Bagi negara maju mekanisme dianggap lebih kompetitif dan murah dibandingkan konsep Join Implementation yang hanya melibatkan negara Annext 1. Anggaran yang tidak begitu mahal terkait penurunan emisi GRK membuat negara maju menerima mekanisme tersebut. Selain itu dalam mekanisme tersebut negara berkembang juga dapat turut serta dalam upaya penurunan emisi GRK. Hal tersebut dikarenakan negara berkembang akan memperoleh suntikan dana yang cukup besar untuk dapat menjalankan proyek mengurangi emisi GRK. Dana tersebut diperoleh dari investasi negara maju untuk mengimplementasikan proyek pengurangan emisi, yang kemudian negara berkembang juga memperoleh keuntungan dengan adanya transfer tekhnologi dari negara maju ke negara berkembang yang terkait dengan teknologi dalam menanggulangi perubahan iklim.

CDM yang merupakan mekanisme yang dapat diikuti oleh negara berkembang dan negara maju. Akan tetap, pada dasarnya terdapat beberapa persyaratan bagi negara maju dan berkembang untuk dapat memenuhi kriteria negara yang dapat menjalankan mekanisme tersebut. Persyaratan bagi negara berkembang adalah sebagai berikut:

  1. Memiliki otoritas nasional yang ditunjuk untuk mengimplementasikan proyek CDM.
  2. Menjadi anggota atau pihak Protokol Kyoto dengan cara meratifikasi Protokol tersebut.
  3. Sedangkan persyaratan bagi negara maju adalah sebagai berikut:
  4. Jatah emisinya telah dihitung dan dicatat sesuai dengan modalitas perhitungan yang berlaku (pasal 3.7 dan 3.8)
  5. Memiliki sistem nasional tentang pendugaan emisioleh sumber dan penyerapan oleh rosot (pasal 5.1)
  6. Memiliki pencatatan nasional (pasal 7.4)
  7. Menyampaikan inventarisasi tahunan tantang emisi GRK antropogenik oleh sumber dan penyerapan rosot (pasal 5.2 dan 7.1)
  8. Tetap bertanggung jawab dalam melakukan kewajibannya meskipun menyerahkan kegiatannya kepada publik atau pihak swasta.

Bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, keabsahan dalam mengimplementasikan proyek CDM ditangguhkan dan diumumkan oleh sekertariat UNFCCC. Sebaliknya jika negara tau peserta proyek CDM telah memenuhi persyaratan, maka negara tersebut dapat menunjuk pengembang atau peserta proyek yang mewakili kedua belah pihak. Proyek yang dijalankan harus pada sektor yang merupakan sumber dari penghasil emisi GRK, seperti industri, transportasi, pengelolaan limbah organik, pertanian dan sektor lainnya yang merupakan sumber penghasil emisi GRK.

TARGET PROTOKOL KYOTO
Perhitungan buangan emisi menjadi hal yang penting dalam pemberlakuan Protokol Kyoto. Pasalnya, salah satu poin penting yang didorong dari protokol tersebut adalah menekan angka buangan emisi secara global. Emisi gas rumah kaca menjadi penting karena dapat menyebabkan perubahan iklim atau pemanasan global. Gas rumah kaca antara lain adalah carbon dioxide (CO2), methane (CH4), nitrous oxide (N2O), perfluorocarbons (PFCs), hydrofluorocarbons (HFCs), serta sulfur hexafluoride (SF6). Dalam data Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau U.S. Environmental Protection Agency (EPA), sebagaimana dikutip dari tirto.id, emisi gas terbesar berasal dari CO2 hasil proses industrial dan bahan bakar fosil yakni 62 persen. CO2 yang berasal dari hutan dan penggunaan lahan lainnya menyumbang sebesar 11 persen. Penyumbang emisi gas lainnya adalah CH4 (16 persen), N2O (6 persen), dan gas lainnya (2 persen).  

Data Global Carbon Project tahun 2019, menyatakan emisi global kembali meningkat, dimana negara penyumbang emisi terbesar adalah Cina (26 %), Amerika Serikat (14 %), Uni Eropa (9 %), dan India (7 %). Protokol Kyoto pada dasarnya dibuat untuk membatasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dikeluarkan oleh Negara-negara annex 1. Negara-negara Annex 1 merupakan kelompok dari Organization for Economic Coorporation and Development (OECD), yang mana beranggotakan dari Negara-negara maju ditambah dengan beberapa Negara Eropa Timur dan Negara-negara pecahan Uni Soviet. Dalam Protokol Kyoto dijelaskan bahwa Negara yang termasuk dalam Annex 1 secara individu atau bersama-sama harus mengurangi emisi GRK sebesar 5 persen dari standarisasi level emisi pada tahun 1990. Protokol Kyoto memiliki target pengurangan emisi secara berkala dimulai tahun 2008 sampai masa habisnya Protokol Kyoto pada tahun 2012. 

Proyek-proyek penurunan emisi GRK merupakan program aksi yang utama dalam Protokol Kyoto. Hal tersebut terlihat dari ketiga mekanisme Protokol Kyoto yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mereduksi emisi GRK yang menyebabkan pemanasan Global. Pada tahun 2002 Protokol Kyoto memiliki Program aksi, yang mana dalam program aksi tersebut dijalankan untuk mengkalkulasi kadar karbon dioksida CO2 dalam setiap rumah. Hal tersebut dimaksudkan agar dalam penghitungan kadar emisi GRK dapat lebih mendetail dan lebih jelas. Sehingga dapat memberikan kesadaran kepada seluruh masyarakat internasional untuk dapat mengurangi emisi GRK dari rumah masing-masing atau dari gaya hidup yang telah dijalani. Dalam Program Aksi dari Protokol Kyoto fokus kepada pengurangan emisi GRK. Beberapa jenis gas yang menyebabkan pemanasan global adalah sebagai berikut:

  • Methane (CH4)
  • Nitrous oxide (N2O)
  • Hydrofluorocarbons (HFCs)
  • Carbon dioxide (CO2)
  • Perfluorocarbons (PFCs)
  • Perfluorokarbon (PFC)
  • Sulphur hexafluoride (SF6)

Target penurunan emisi GRK tersebut merupakan tujuan dari program aksi Protokol Kyoto. Program aksi yang diterapkan dalam proyek mekanisme Protokol Kyoto, yang mana proyek tersebut meliputi alih tekhnologi, pengurangan emisi GRK serta riset terkait perkembangan perubahan iklim yang menjadi program utama dari Protokol Kyoto. Dari program aksi tersebut dapat dilihat peranan dari Negara-negara di dunia dalam mengurangi dampak dari pemanasan Global. Hal tersebut juga menjadi menarik ketika Indonesia sebagai Negara yang memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia, berperan aktif dalam beberapa konferensi lingkungan terutama Protokol Kyoto.

“Protokol Kyoto itu kesepakatan dunia yang menyadari bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia. Itu penting sekali. Sebelumnya, tidak tahu masalah dari perubahan iklim dan tidak dipedulikan jadi negara-negara itu tidak sepakat. Ada suatu perundingan internasional yang berkesimpulan perubahan iklim terjadi karena manusia.” ungkap Menteri Lingkungan Hidup periode 2004-2009, Rachmat Witoelar, yang juga menjadi Delegasi Indonesia untuk Protokol Kyoto.

PROTOKOL KYOTO PERIODE PERTAMA
Protokol Kyoto diadopsi di Kyoto, Jepang, pada tanggal 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Periode komitmen pertama dimulai pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2012. Selama periode komitmen pertama, 37 negara-negara industri dan Masyarakat Eropa berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan rata-rata lima persen terhadap tingkat emisi gas rumah kaca di tahun 1990. 

Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi. Negara-negara tidak perlu menanda tangani persetujuan tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda tanganan hanyalah aksi simbolis saja. Daftar terbaru para pihak yang telah meratifikasinya ada di sini. Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, ia mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan." Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005. 

Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Ada dua negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol tersebut yaitu Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi) dan Kazakstan. Pada awalnya AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember 2007 Australia akhirnya ikut seta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negera tersebut. 

PROTOKOL KYOTO PERIODE KEDUA
Dari Konferensi Perubahan Iklim dibawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang berlangsung di Bonn pada pertengahan Juni 2014, terungkap fakta yang menarik, bahwa baru 11 negara yang meratifikasi perpanjangan Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua.  Sebagaimana dikutip dari mongabay.co.id, perpanjangan Protokol Kyoto selama delapan tahun mulai tahun 2013 sampai 2020  merupakan keputusan yang tercantum dalam Doha Amendment sebagai hasil Konferensi Perubahan Iklim ke-18 di Doha, Qatar pada 2012. Dalam konferensi di Bonn, Norwegia menjadi negara ke-11 yang menyatakan meratifikasi Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua setelah Uni Emirat Arab, Barbados, Mauritius, Banglades, Monaco, Sudan, Negara Federasi Mikronesia, Kenya, Honduras, dan China. “Saya ingin mengucapkan selamat kepada Norwegia dan sepuluh negara lain yang telah melangkah untuk bertanggung jawab dan meratifikasi amandemen,” kata Sekretaris Eksekutif UNFCCC Christiana Figueres dalam pernyataan resmi dari UNFCCC.

Pada periode komitmen kedua, semua pihak berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 18 persen di bawah tingkat pada periode delapan tahun 2013-2020. Sesuai aturan Protokol Kyoto, perlu tiga per empat dari192 negara anggota UNFCCC atau 144 negara yang perlu meratifikasi Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua agar bisa diberlakukan.  Oleh karena itu, Christiana mengatakan pihaknya akan mendorong negara anggota UNFCCC lainnya untuk meratifikasi protokol tersebut. Pemberlakukan Protokol Kyoto, lanjutnya, menjadi langkah dan tonggak penting untuk mencapai kesepakatan protokol baru pada konferensi perubahan iklim ke-21 di Paris, Perancis pada akhir 2015. “Negara-negara maju harus memimpin. Inilah sebabnya mengapa Norwegia mengambil komitmen baru di bawah Protokol Kyoto. Kami mendorong semua negara lain pada Protokol Kyoto untuk memajukan proses ratifikasi mereka dengan cepat,” kata Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Tine Sundtoft. 

Sedangkan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Utusan Khusus Presiden untuk Penanggulangan Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar yang bertindak sebagai Ketua Delegasi RI  menyatakan bahwa Indonesia ingin menegaskan kembali komitmen semua pihak untuk ambisi pra 2020 dan inisiatif lebih lanjut meningkatkan skala praktik terbaik di sektor penggunaan lahan untuk mitigasi perubahan iklim dan tindakan adaptasi. “Kita  tahu  bahwa  komitmen  pengurangan  emisi  gas  rumah  kaca  oleh  pemerintah berbagai negara  saja  tidak  cukup  untuk  mencegah  peningkatan  temperatur  rata-rata  kurang  dari   2   derajat   Celcius   dibandingkan   temperatur   sebelum   masa   Revolusi  Industri,” kata Rachmat dalam jumpa pers hasil konferensi Bonn di Kantor DNPI, akhir pekan ini. 

PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA

Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Protokol Kyoto, sehingga aturan dalam prokol kyoto menjadi hukum positif di Indonesia. Implikasi dari Protokol Kyoto di Indonesia mengakibatkan dilaksankannya Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di seluruh daerah di Indonesia. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004 dengan ditandai adanya pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the Unitied Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). RUU (Rancangan Undang-undang) tersebut disahkan oleh DPR RI yang merupakan perwakilan dari beberapa Fraksi diantaranya Fraksi PKB, Fraksi Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PPP serta Fraksi lainnya. Ratifikasi Protokol Kyoto oleh Indonesia merupakan kemajuan dari diplomasi lingkungan bagi Indonesia terkait isu Pemanasan Global. Hal tersebut menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam ikut serta menangani dampak dari Pemanasan Global dan kemudian turut serta mengimplementasikan poin-poin dalam Protokol Kyoto.

Indonesia merupakan merupakan negara yang memiliki peran penting dalam diplomasi lingkungan dan Protokol Kyoto, yang mana terkait dengan program pengurangan emisi. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terbesar kedua didunia. Selain itu Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, yang membuat Indonesia dapat merasakan dampak yang signifikan dari perubahan iklim, yaitu dengan naiknya permukaan air laut karena mencairnya gunung es di kutub.51 Sehingga Indonesia patut memiliki peranan dalam isu lingkungan yang menjadi agenda penting dalam pemerintahan Indonesia. Peranan penting Indonesia dalam diplomasi lingkungan, dimulai sejak pemerintahan presiden Soeharto. Pada masa pemerintahan Soehato, Indonesia telah menegaskan perannya dalam diplomasi lingkungan seperti pengiriman delegasi pada konferensi Stokholm, Swedia tahun 1972. Kemudian Indonesia kembali mengirimkan delagasinya pada konfrensi Naerobi dan KTT Bumi.

Pada KTT bumi Indonesia semakin memantapkan perannya dalam diplomasi lingkungan. Hal tersebut dibuktikan dengan ditandatanganinya pembentukan UNFCCC oleh Indonesia, yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1994 dengan persetujuan DPR. Pada tahun 1997, Indonesia juga mengirimkan delegasi ke Tokyo, Jepang dalalm pertemuan yang membahas pembentukan Protokol Kyoto. Perjalanan panjang yang terjadi dalam pembentukan Protocol Kyoto, Indonesia memainkan perannya sebagai Negara berkembang. Pada dasarnya Negara berkembang tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi GRK. Hal tersebut jika dilihat dari dua mekanisme Protokol Kyoto, yaitu Emision Trading dan Join Implementation. Akan tetapi, pada saat konferesi akan berakhir terdapat mekanisme yang mengikutsertakan Negara berkembang dalam menanggulangi pemanasan global. Kemudian, dengan terbentuknya CDM, maka Negara-negara berkembang dapat ikut serta menanggulangi pemanasan global.

Protokol Kyoto telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2004. Ratifikasi tersebut berarti, Indonesia telah memiliki komitmen untuk ikut serta dalam menanggulangi pemanasan global agar dapat dikurangi dampak dari pemanasan global. Setiap Konvensi yang diratifikasi oleh suatu Negara termasuk Konvensi Perubahan Iklim harus dipahami bahwa konvensi atau perjanjian tersebut adalah hasil pemikiran dan komitmen global yang selanjutnya diimplementasikan dalam tingkat nasional. Pengertian nasional disini berarti memiliki dasar hokum yang mengikat seluruh lapisan pemerintahan dan masyarakat secara umum. Serta perlunya diimplementasikan secara bersama-sama dengan melibatkan beberapa kelompok dalam lapisan masyarakat yang terkait. Implementasi konvensi bukan komitmen suatu lembaga pemerintah atau departemen. Walaupun pada dasarnya pemerintah memiliki peran utama sebagai penanggungjawab dari implementasi tersebut, namun masyarakat secara umumlah yang nantinya bersama-sama melaksanakann program yang telah disepakati.

Keikutsertaan Indonesia dalam mekanisme Protokol Kyoto disebabkan oleh adanya berbagai pertimbangan. Selain terkait dengan letak Indonesia yang rentan terhadap banjir yang disebabkan oleh naiknya air laut karena kutub mencair disebabkan oleh pemanasan global. Indonesia juga bisa memperoleh keuntungkan dari Protokol Kyoto terkait dengan mekanisme yang dijalankan oleh Negara yang meratifikasi Protokol Kyoto. Clean Development Mechanism (CDM) merupakan mekanisme fleksibel dalam Protokol Kyoto yang memungkinkan Negara maju dan Negara berkembang bersama-sama dalam menjalankan proyek pengurangan emisis GRK. Mekanisme ini merupakan mekkanisme dalam Protokol Kyoto yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam mekanisme pembangunan bersih, selain membantu Negara maju untuk mengurangi emisi GRK, Negara berkembang juga mendapatkan keuntungan dalam bentuk finasial, transfer tekhnologi dan pembangunan berkelanjutan dari Negara maju ke Negara berkembang.

Adapun tujuan dari terbentuknya mekanisme pembangunan bersih (Protokol Kyoto Artikel 12) adalah sebagai berikut:

  • Membantu negara yang tidak termasuk sebagai negara Annex I, yaitu Negara berkembang, dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
  • Membantu negara-negara Annex I atau negara maju agar dapat memenuhi target penurunan emisi negaranya.

Jadi Clean Development Mechanism (CDM) akan member kesempatan kepada Negara maju untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dengan fleksibel dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Hal tersebut menguntungkan Negara berkembang, karena dengan adanya mekanisme tersebut maka akan adanya proyek CDM yang menguntungkan bagi negara berkembang. Mekasnime Pembangunan Bersih memiliki metode khusus dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca. Metode dengan memberikan sertifikat kredit kepada negara maju dalam mereduksi emisi GRK. Sertifikat tersebut berarti merupakan komitmen dari Negara maju untuk mengurangi emisi GRK yang selama ini telah dihasilkan oleh negara maju melalui perkembangan industri yang telah dilakukannya. CER (Certified Emission Reduction) merupakan sertifikat yang memberikan kredit kepada Negara maju apabila proyek yang dilaksanakan di Negara berkembang terbukti dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca.

Kredit tersebut kemudian dihitung dengan emisi yang berhasil direduksi sesuai dengan target dari Protokol Kyoto. Kredit tersebut kemudian digunakan Negara maju untuk memenuhi pengurangan emisi GRK yang dimulai pada tahun 2008-2012. Kredit tersebut dapat diperoleh antara tahun 2000-2007, yang berarti Negara maju memiliki waktu yang cukup lama untuk dapat mereduksi emisi GRK sesuai dengan target dari Protokol Kyoto. Dalam proyek CDM terdapat kebijakan anggaran yang menguntungkan sekaligus juga bisa merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Adaptation Fund merupakan dana adaptasi yang dibutuhkan negara berkembang dalam proyek adaptasi dari tekhnologi yang dikembangkan dalam proyek CDM. Adaptasi yang secara spontan maupun terencana akan membutuhkan dana yang besar, sehingga perlunya perencanaan anggaran adaptasi agar dana yag digunakan lebih bermanfaat secara langsung.

Pendanaan adaptasi dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk sumber domestik maupun internasional. Sebagai negara berkembang dan rentan dengan perubahan iklim, Indonesia berhak menggunakan Adaptation Fund di bawah Protokol Kyoto. Akan tetapi Indonesia bukan negara satu-satunya yang dapat memperoleh dana tersebut, sehingga terdapat kompetisi yang ketat dalam mendapatkan dana tersebut. Sehingga diperlukan perencanaan yang baik dan perhitungan yang baik. Dana Adaptation Fund berasal dari 2% dana yang dikeluarkan oleh negara yang memperoleh CERs yang dihasilkan dari proyek mekanisme CDM. Karenanya dana tersebut sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan proyek CDM. Akan tetapi, dengan adanya persaingan ketat dalam memperoleh dana tersebut, akan menjadi anacaman bagi negara berkembang seperti Indonesia dalam menyediakan anggaran tersebut. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan Indonesia tidak hanya soal lingkungan, tapi terdapat juga permasalahan lain seperti kemiskinan, pendidikan dan lainnya.

0 Response to "16 FEBRUARI 2005, BERLAKUNYA PROTOKOL KYOTO TENTANG PEMANASAN GLOBAL"

Post a Comment