PIDATO JOKOWI DI UN CLIMATE GHANGE CONFERENCE UK 2021

 
Pada hari senin, tanggal 01 November 2021, Presiden Joko Widodo beserta anggota KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyampaikan pidatomya dalam acara yang bertajuk "Perubahan Iklim" (COP 26). Kegiatan ini diadakan di Kota Glasgow, Skotlandia, disana Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen bangsa Indonesia yang akan membantu menangani perubahan iklim yang terus memburuk. Dalam pidatonya tersebut, Presiden Jokowi membeberkan sejumlah rencana Indonesia guna mencapai nol emisi (zero Emission), salah satunya yaitu dengan melakukan restorasi hutan. Jokowi juga sempat menyinggung terkait capaiannya dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia, Jokowi mengklaim bahwa kebakaran hutan di Indonesia turun secara signifikan, bahkan menjadi yang terendah dalam 20 tahun terakhir.

Konvensi Kerangka Perubahan Iklim ke-26 (COP26) di Inggris dan target sejumlah negara menuju net zero emission tahun 2050, disambut baik oleh Presiden Jokowi. Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi nampak hadir dengan mengenakan jas hitam dan dasi merah. Ia disambut langsung oleh Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres. Jokowi memberikan pidato pada hari kedua KTT Perubahan Iklim World Leaders Summit COP26 dengan durasi sekitar 4 menit, dalam pidato tersebut Jokowi menyampaikan bertekad agar sektor hutan dan lahan Indonesia menjadi penyerap karbon (net carbon sink) selambat-lambatnya di tahun 2030. Tekad ini sejalan dengan Global Forest Deal yang diluncurkan di Glasgow di mana 100 negara termasuk Indonesia menjanjikan akan mengakhiri deforestasi pada tahun 2030.

Berikut isi lengkap pidato Presiden Jokowi di KTT Perubahan Iklim World Leaders Summit COP26 :

Yang Mulia,

Perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerja sama, kolaborasi global merupakan kunci.

Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir.

Kebakaran hutan juga turun 82 persen di tahun 2020. Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia.

Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010-2019. Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia kan mencapai karbon nett selambatnya tahun 2030.

Di sektor energi, kami juga terus melangkah maju. Dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk bio fuel, serta pengembangan industri berbasis clean energi, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia yang berada di Kalimantan Utara.

Tetapi, hal itu tidak cukup. Kami, terutama sebagai negara yang mempunyai lahan luas hijau dan potensi untuk dihijaukan, serta negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon membutuhkan dukungan dan kontribusi dari internasional, dari negara-negara maju.

Indonesia akan terus memobilisasi pembiayaan penanganan perubahan iklim dan pembiayaan inovatif serta pembiayaan campuran obligasi hijau dan sukuk hijau.

Penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi nett zero emission dunia.

Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya.

Selain itu, carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari penanganan isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi, karbon yang transparan, berintegritas, inklusif, dan adil harus diciptakan.

Yang Mulia, sebagai penutup di KTT ini, atas nama Forum Negara Kepulauan dan Pulau kecil (AIS), Indonesia merasa terhormat dapat mensirkulasikan pernyataan bersama para pemimpin AIS Forum.

Sudah menjadi komitmen AIS forum untuk terus memajukan kerja sama kelautan dan aksi iklim di UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).

TANGGAPAN DARI GREENPEACE INDONESIA

Greenpeace adalah suatu lembaga swadaya masyarakat, organisasi lingkungan global, yang memiliki cabang di lebih dari 40 negara dengan kantor pusat di Amsterdam, Belanda. Greenpeace dikenal menggunakan aksi langsung tanpa kekerasan, konfrontasi damai dalam melakukan kampanye untuk menghentikan berbagai aksi perusakan lingkungan seperti pengujian nuklir, penangkapan paus besar-besaran, deforestasi, dan sebagainya. Greenpeace hadir di Indonesia pada tahun 2005, berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, Greenpeace Indonesia sudah terdaftar resmi di Departemen Kehakiman dan HAM.

Greenpeace Indonesia memfokuskan kampanyenya pada beberapa persoalan yakni persoalan kehutanan, energi, air dan kelautan.Pada tahun 2011 Greenpeace memulai kampanye Air Bersih Bebas Bahan Kimia Beracun di Indonesia dengan meluncurkan kampanye Penyelamatan Sungai Citarum. Kampanye Kelautan Greenpeace Indonesia mulai berjalan sejak 2013. Greenpeace Indonesia bersama organisasi lainnya mendeklarasikan Visi Bersama Kelautan Indonesia 2025 pada 31 Mei 2013. Struktur organisasi Greenpeace terdiri dari Greenpeace International yang berbasis di Amsterdam, Belanda, dan 28 cabang regional yang berada di 45 negara. Cabang regional bekerja secara otonom di bawah pengawasan Greenpeace International.

Berkaitan dengan pidato presiden Jokowi diatas, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menanggapi pidato jokowi tersebut, ia beranggapan bahwa presiden telah menyatakan pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan dihadapan pemimpin dunia. Leonard menyatakan bahwa apa yang dikatakan Jokowi tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Greenpeace memandang pidato tersebut tidak memperlihatkan komitmen serius dan ambisius yang merupakan inisiatif pemerintah Indonesia sendiri. Sebagai anggota G20 yang memegang presidensi G20 di 2022, Indonesia seharusnya bisa menjadi contoh bagi banyak negara berkembang untuk memutus ketergantungan terhadap energi kotor, mewujudkan nol deforestasi, serta tidak bergantung pada dukungan internasional.

Leonard, sebagaimana dilansir dari detik.com, ia mengatakan, “Sebagai bagian dari 20 ekonom terbesar di dunia, dan 10 negara pengemisi terbesar, seharusnya Indonesia memimpin dengan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonominya. Yaitu dengan berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu terhadap krisis iklim.”  
 
Greenpeace menanggapi sejumlah pernyataan Jokowi yang disampaikan dalam pidatonya di COP26, berikut tanggapannya:

1. Presiden Jokowi menyebutkan, laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir
Faktanya, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat. Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi.

2. Kebakaran hutan diklaim turun 82% di tahun 2020
Padahal penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektar ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah. Pemerintah tidak boleh menganggap sepele angka tersebut, sebab ongkos sesungguhnya harus ditinjau dari masalah kesehatan masyarakat, biaya penanggulangan, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang sangat besar.

Tingkat keseriusan pemerintah harus ditindaklanjuti dengan proaktif menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut. Selain itu, pemerintah bisa mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang melegalisasi atau mempercepat terjadinya degradasi gambut. Komitmen ini harus ditindaklanjuti dengan penindakan tegas dengan mencabut izin usaha dan ganti rugi pemulihan lingkungan sehingga memberikan efek jera, ketimbang sanksi administrasi yang lunak bagi perusak lingkungan.

Indonesia sulit berharap terbebas dari karhutla tahunan dalam waktu dekat, pasalnya pemerintah masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri menggarap lahan gambut. Penelitian Greenpeace Indonesia terbaru mengungkapkan hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi gambut, berada pada level kritis yang disebabkan penggunaan lahan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit skala besar.

3. Indonesia disebut telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar sampai di 2024

Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia yaitu 3.489.140,68 ha (tahun 2015) yaitu 23% dari ekosistem mangrove dunia.Namun lebih dari setengah dalam kondisi rusak yaitu seluas 1.817.999,93 Ha.

Sampai hari ini alih fungsi lahan gambut untuk tambak, pemukiman, illegal logging, perkebunan, infrastruktur di kawasan pesisir seperti reklamasi, jalan, pariwisata dan pelabuhan, masih terus terjadi. Kondisi ini diperburuk dengan pencemaran dari darat seperti limbah plastik, limbah rumah tangga, tumpahan minyak dan juga sedimentasi akibat rusaknya kawasan hulu sungai.

Rencana pemerintah untuk merestorasi hutan mangrove seluas 600.000 ha di tahun 2024 terdengar sangat hebat, tetapi jika dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai 1,8 juta hektar, hal ini tidak ambisius mengingat hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang sangat vital bagi kawasan pesisir yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis iklim.

Selain itu, hal ini sepertinya bertolak belakang dengan kebijakan utama Pemerintah Indonesia yang saat ini lebih mengutamakan laju investasi yang telah menyebabkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir. Kebijakan utama ini akan mengorbankan dan merusak ekosistem mangrove yang masih ada, dan juga akan menghambat laju pertumbuhan mangrove yang sedang direhabilitasi karena rehabilitasi mangrove membutuhkan kondisi lingkungan yang baik.

4. Presiden Jokowi menyebutkan, Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019
Capaian ini perlu dipertanyakan ulang mengingat terdapat peningkatan laju deforestasi seperti yang disebutkan sebelumnya di atas. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam 2 tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua).
 
Nasib komitmen moratorium sawit yang tidak jelas sampai saat ini menjadi sinyal perlunya peningkatan target perbaikan tata kelola hutan. Hasil analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta ha perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019, setidaknya terdapat 600 perusahaan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 ha perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.

Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di pulau Sumatera (61,5%) dan Kalimantan (35,7%). Dari kedua pulau tersebut, terdapat dua provinsi dengan ekspansi sawit terbesar yaitu provinsi Riau (1.231.614 ha) dan Kalimantan Tengah (821.862 ha). Kedua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.

5. Pemerintah menyebutkan, sektor kehutanan dan lahan yang semula menyumbang 60% emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink pada 2030.
Sudah saatnya Indonesia untuk segera mengakhiri deforestasi, didukung oleh undang-undang dan kebijakan yang ketat, yang mengakui hak atas tanah masyarakat adat, melindungi hutan secara total, juga menghilangkan deforestasi melalui rantai pasokan industri berbasis lahan.
Masyarakat adat dan praktek pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya alam adalah solusi untuk krisis iklim. Hak-hak masyarakat adat dan lokal harus menjadi inti dari semua kebijakan perlindungan alam.

6. Terkait sektor energi, pemerintah menjalankan pengembangan ekosistem mobil listrik

Sektor kelistrikan Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara. Bauran energi batu bara pada kelistrikan saat ini mencapai 67% dan tetap mendominasi hingga tahun 2030, yaitu sebesar 59%. Untuk itu, jika pengembangan mobil listrik tersebut dilakukan dengan kondisi jaringan yang masih brown, maka tujuan pengurangan emisi secara signifikan tidak akan tercapai karena hal tersebut sama saja dengan memindahkan emisi dari sektor transportasi ke sektor pembangkitan listrik.

Selain itu, Indonesia juga dihadapkan dengan permasalahan oversupply listrik yang mencapai 45% di Pulau Jawa-Bali dan 55% di Pulau Sumatera dan juga pembangunan PLTU batu bara baru sebesar 12,5 Gigawatt di wilayah-wilayah tersebut. Apabila ekosistem mobil listrik dibuat hanya untuk menyerap kelebihan pasokan listrik dari energi kotor batu bara, maka Indonesia akan semakin jauh dari pencapaian target Paris Agreement.

7. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan termasuk biofuel
Biofuel merupakan solusi semu bagi transisi energi, karena akan menaikkan laju deforestrasi untuk pemenuhan produksi dan akan memperlebar penyelewengan penggunaan dana pemulihan ekonomi kepada subsidi minyak bumi dan kegiatan ekstensifikasi lahan bagi industri berbasis kelapa sawit atau biomassa (wood pellet, dsb). Jika melihat dari program biodiesel pemerintah yang berbasis minyak sawit, biodiesel yang level blending 30%, akan memerlukan 5,2 juta Ha di atas 16 juta Ha perkebunan sawit yang sudah ada, jika menggunakan skenario tambahan blending 50% maka akan ada penambahan 9 juta Ha pada tahun 2025 di atas perkebunan sawit yang sudah ada.

8. Pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara
Presiden Jokowi di dalam pidatonya masih terjebak pada proyek-proyek rekor seperti PLTS terbesar dan kawasan industri hijau terbesar. Indonesia seharusnya menempuh transisi ke ekonomi hijau dalam bentuk perubahan kebijakan mendasar, dan implementasinya seperti transisi energi secara masif dan cepat, untuk mencapai zero emission di 2050. Hal ini menunjukkan Presiden Jokowi belum memiliki komitmen serius dan masih menjadikan isu krisis iklim sebagai isu pinggiran dan solusinya sebagai gimmick.

9. Carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim

Greenpeace secara tegas menolak rencana penyeimbangan karbon atau carbon offset, karena kami berpandangan ini adalah solusi palsu bagi iklim, yang hanya akan memindahkan tanggung jawab, dibanding penurunan emisi karbon secara langsung dan masif yang harus dilakukan segera oleh industri ekstraktif. Sebaliknya, negara-negara di dunia termasuk Indonesia juga harus melakukan perubahan mendasar untuk mencapai zero emission yang sebenarnya melalui transisi hijau.

Leonard Simanjuntak menambahkan, “Presiden Jokowi perlu menyadari bahwa 2 minggu ke depan dalam COP26 Glasgow ini akan sangat menentukan bagi keberlanjutan kemanusiaan kita. Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinan yang nyata, melalui perubahan-perubahan fundamental pada sistem ekonominya yang dapat membantu untuk menghindarkan kita semua dari bencana iklim permanen di akhir abad ini.”
 
TANGGAPAN DARI YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN
Dikutip dari laman resminya, madaniberkelanjutan.id, Yayasan Madani Berkelanjutan adalah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memperkuat berbagai inisatif lokal dan nasional dalam menyelamatkan hutan Indonesia dengan strategi menjembatani hubungan berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai solusi inovatif dalam masalah tata kelola hutan dan lahan. Yayasan Mandiri Berkelanjutan bertujuan untuk menjadi pusat informasi dimana para pemangku kepentingan dapat memperoleh informasi yang mereka butuhkan, atau mengemas kembali informasi tersebut agar sesuai dengan tujuan dan sasaran. Yayasan Mandiri berkelanjutan juga memfasilitasi semua data, informasi, dan pengetahuan sehingga dapat dipahami dengan baik oleh setiap sektor. Juga memperhitungkan risiko, potensi, manfaat, dan ide-ide berharga untuk menciptakan perubahan yang positif.

Menanggapi pidato Jokowi, Yayasan Madani Berkelanjutan mengungkapkan apresiasinya. Meski demikian, lembaga ini juga mengingatkan bahwa tanpa langkah-langkah yang tegas, pencapaian target yang disebutkan oleh Jokowi bisa tidak terealisasikan. Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, sebagaimana dikutip dari kompas.com, ia menyatakan bahwa Presiden Jokowi harus tegas mengeluarkan kebijakan pembangunan -termasuk pemulihan ekonomi nasional- yang konsisten dengan agenda net sink FOLU dan tujuan untuk mengakhiri deforestasi pada 2030. Dalam upaya mengakhiri deforestasi pada 2030, Nadia berkata bahwa melindungi seluruh bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa akan membantu Indonesia mencapai aspirasi tersebut. Namun, nyatanya masih ada 9,6 juta hektare bentang hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan bisa terancam.

Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan juga menyampaikan bahwa untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), pemerintah juga harus mempercepat restorasi gambut. Caranya dengan memasukkan seluruh area terbakar pada 2015-2019 dan mendorong realisasi restorasi gambut di area izin dan konsesi. Kemudian, pemerintah daerah juga harus diperkuat dalam menjalankan aksi adaptasi dan mitigasi di wilayahnya dan meningkatkan pendanaan hijau ke daerah. Begitu pun perhutanan sosial, harus diakselerasi dan diperkuat karena berpotensi berkontribusi hingga 34,6% terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi. Sebaliknya, rencana alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan tujuan net sink FOLU 2030 harus dihentikan.

Yosi Amelia menyampaikan, dikutip dari kompas.com, "Hutan alam, ekosistem gambut, dan wilayah Masyarakat Adat di dalam Area of Interest Food Estate harus dikeluarkan dan dilindungi agar tidak dikonversi. Saat ini ada 1,5 juta hektare hutan alam di Area of Interest Food Estate di 4 provinsi saja." Tidak hanya itu, Yosi menambahkan, pasca-moratorium sawit, perlu ada kebijakan tegas dan tertulis untuk tidak memberikan izin perkebunan sawit baru di wilayah yang berhutan alam dan ekosistem gambut. Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, jika tidak dihentikan, sekitar ada 1,73 juta hektare hutan alam yang bisa terancam. Pasalnya, hutan alam ini berada di kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) yang tidak terlindungi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), di luar Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), dan di luar izin eksisting.

Trias Fetra menyampaikan, "Jika penyelesaian keterlanjuran izin sawit di Kawasan Hutan turut mencakup area yang masih berhutan alam dan ekosistem gambut, sekitar 0,76 juta hektare hutan alam juga bisa terdampak pelepasan Kawasan Hutan. Jika seluruh hutan alam di atas hilang, hingga 78% 'jatah' deforestasi Indonesia untuk mencapai target Updated NDC pada 2020-2030 akan habis." Terkait komitmen Presiden Jokowi untuk memanfaatkan energi terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati (biofuel); Yayasan Madani Berkelanjutan berkata bahwa diperlukan ketegasan untuk menegakkan safeguards dan tidak membuka hutan alam serta ekosistem gambut. 

M. Arief Virgy, Program Officer Tata Kelola Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan, sebagaimana dikutip dari kompas.com, ia mengatakan, “Mendiversifikasi bahan baku biofuel agar tidak hanya berfokus pada minyak sawit menjadi penting agar tidak ada kompetisi bahan baku untuk pangan dan energi sehingga dapat mencegah ekspansi lahan pada hutan alam dan lahan gambut.” Di samping kedua hal di atas, Yayasan Madani Berkelanjutan juga meminta agar Presiden Jokowi mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk melindungi hak masyarakat adat yang berada di garis depan perlindungan hutan alam.

0 Response to "PIDATO JOKOWI DI UN CLIMATE GHANGE CONFERENCE UK 2021"

Post a Comment