RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 29 OKTOBER

 
29 OKTOBER 2018
PESAWAT LION AIR PENERBANGAN JT-610 JATUH DI LAUT JAWA

Pada tanggal 29 Oktober 2018, pesawat penumpang Lion Air hilang kontak setelah 13 menit lepas landas dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Tangerang dan kemudian dinyatakan bahwa pesawat telah jatuh di perairan Tanjung Pukis, Karawang. Pesawat dengan nomor penerbangan JT-610 ini merupakan pesawat tipe Boeing 737 MAX 8 yang mulai dilepas ke pasaran tahun 2017. Pesawat ini merupakan pesawat generasi terbaru yang akan menggantikan pesawat tipe sebelumnya yaitu Boeing 737 Next Generation, ada beberapa modifikasi mulai dari penggunaan mesin yang lebih besar dan fisien (Mesin CFM LEAP-1B), serta beberapa modifikasi pada badan pesawat. Kecelakaan pesawat Liom Air JT-610 ini merupakan kecelakaan penerbangan pertama yang melibatkan pesawat Boeing 737 MAX 8 pasca dirilis pada tahun 2017. Maskapai Lion Air sendiri menerima pesawat ini dari pihak Boeing pada tanggal 13 Agustus 2018, hanya selisih sekitar dua bulan sebelum kecelakaan terjadi.

Pada saat melakukan penerbangan pada tanggal 29 Oktober 2018, pesawat Lion Air JT-610 tengah mengangkut 189 penumpang yang terdiri dari 178 penumpang dewasa, 3 penumpang anak-anak, 6 awak kabin, 1 orang pilot dan 1  orang kopilot. Pesawat Lion Air JT-610 dengan nomor registrasi PK-LQP yang terbang menju Bandar Udara Depati Amir Pangkal Pinang ini dikendalikan oleh Kapten Pesawat (Pilot) berkewarganegaraan India. Pilot pesawat Lion Air JT-610 yang dijadwalkan tiba di Pangkal Pinang pukul 07.20 WIB ini sudah bekerja di maskapai Lion Air selama tujuh tahun dan memiliki pengalaman terbang 6.000 jam, ia didampingi oleh Kopilot yang merupakan warga negara Indonesia dengan pengalaman terbang 5.000 jam. Dilihat dari daftar penumpang pesawat Lion Air JT-610, ada beberapa tokoh dari kalangan pemerintahan yang ikut dalam penerbangan tersebut, ada 20 (duapuluh) pegawai kementerian keuangan, 7 (tujuh) anggota DPRD Bangka Belitung dan 3 (tiga) hakim pengadilan tinggi dan pengadilan negeri.

Kronologi kejadian, pesawat lepas landas dari Jakarta pukul 06:20 WIB (23:20 UTC), pesawat tersebut terbang ke arah barat sebelum berbelok ke timur laut, lalu akhirnya jatuh di lepas pantai sekitar pukul 06:33 di sebelah timur laut Jakarta di perairan berkedalaman 35 meter. Melalui data rekaman dalam Black Box atau Flight Data Recorder (FDR) yang berhasil ditemukan oleh Tim SAR pada tanggal 1 November 2018 dan Cockpit Voice Recorder (CVR) yang ditemukan pada tanggal 14 Januari 2019, didapati bahwa pesawat sempat mencapai ketinggian maksimum 5000 kaki (1500 m), kemudian naik turun beberapa kali. Data terakhir yang dipancarkan menunjukkan ketinggian 3,650 kaki (1,113 m) dengan kecepatan 345 knot (639 km/h). Pilot sempat meminta izin untuk terbang kembali ke Jakarta, tetapi tidak pernah tiba dan akhirnya dinyatakan jatuh pada jarak 34 mil laut (63 km) di lepas pantai Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Saat kecelakaan terjadi, pesawat terbang ini telah memiliki riwayat terbang sebanyak 800 jam.

Operasi pencarian dan penyelamatan dilakukan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) dibantu Angkatan Udara Republik Indonesia. Basarnas mengerahkan sekitar 150 orang menggunakan kapal dan helikopter ke lokasi kejadian. Kapal-kapal nelayan juga menanggapi laporan pesawat jatuh, bahkan awak kapal tunda AS Jaya II melaporkan kepada petugas pelabuhan Tanjung Priok bahwa mereka melihat kecelakaan pesawat pada pukul 06:45 dan menemukan serpihan di air pukul 07:15. Serpihan yang diduga berasal dari pesawat ditemukan di dekat instalasi penyulingan lepas pantai yang tidak jauh dari lokasi kejadian. Tidak ada satu orang pun yang selamat dalam insiden ini, bahkan pebalap sepeda asal Italia Andrea Manfredi juga menjadi korban dalam kecelakaan pesawat ini. Tragedi kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 ini merupakan tragedi penerbangan terburuk kedua dalam sejarah Indonesia, setelah kecelakaan Garuda di Medan pada tahun 1997 yang menewaskan 234 orang.
 
 Pada 25 Oktober 2019 atau 4 hari sebelum tepat setahun persis tragedi JT-610 tersebut, KNKT mengumumkan hasil penyebab kecelakaan tersebut adalah asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai referensi yang ada ternyata tidak tepat. Selain itu, ada delapan faktor lainnya yang dinilai berkontribusi menyebabkan kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP. Salah satunya adalah tidak ada panduan pelatihan ataupun informasi mengenai MCAS di buku panduan pilot, sehingga pilot tidak mengetahui soal sistem baru tersebut. "Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai referensi yang ada ternyata tidak tepat." diungkapkan oleh Nurcahyo Utomo, Kasubkom penerbangan KNKT, dalam jumpa pers untuk menjelaskan penyebab kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 di kantor KNKT, Jakarta. Temuan KNKT juga mengungkapkan, desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.

MCAS atau Maneuvering Characteristics Augmentation System, memiliki fitur otomatis. Gunanya adalah memproteksi pesawat dari manuver yang berbahaya, seperti mengangkat hidung pesawat terlalu tinggi, sehingga mengakibatkan stall. KNKT menyatakan bahwa indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737 MAX 8 PK-LQP yang berakibat informasi yang menunjukkan sudut AOA berbeda antara yang kiri dengan yang kanan, sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengindentifikasi kerusakan AOA sensor. Terungkap pula bahwa AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya. KNKT menyimpulkan, investigasi ini tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi. 
 
Sebagaimana diberitakan oleh bbc.com, KNKT menambahkan bahwa informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat. Dijelaskan pula, beberapa peringatan, berulangkali aktifasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-formal, dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidak-efektifan koordinasi antar pilot dan pengeloaan beban kerja. Dalam rilis resminya, Boeing menanggapi rekomendasi yang diberikan oleh KNKT. Tertulis bahwa Boeing akan meningkatkan faktor keselamatan penerbangan terrutama untuk pesawat jenis 737-800 MAX dan perangkat lunak yang tertanam dalam pesawat. Sejak kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, perangkat lunak itu telah diuji melalui ratusan simulator, tes terbang dan beragam analisis. Mengenai MCAS yang disebutkan dalam hasil akhir investigasi KNKT, Boeing memperbaiki perangkat lunaknya. 

Dikutip dari bbc.com, Corporate Communication Strategic Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro, menyatakan berterima kasih terhadap KNKT atas investigasi yang telah dilakukan selama setahun terakhir. Bagi Lion Air, investigasi yang dilakukan menghasilkan rekomendasi sebagai langkah perbaikan bagi Lion Air agar kecelakaan serupa tidak akan pernah terulang. KNKT memberikan tiga rekomendasi terhadap Lion Air, salah satu di antaranya adalah memperbaiki sistem petunjuk bagi para kru penerbang. Hal ini pula yang ditulis dalam rekomendasi Boeing, bahwa pihaknya juga akan memberikan pelatihan bagi kru penerbang dan membuat petunjuk yang jelas, agar semua penerbang paham dan memiliki informasi lengkap yang paling dibutuhkan dalam penerbangan Boeing 737-800 MAX. Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan prosedur operasional fitur yang otomatis mengatur hidung pesawat, Manoeuvring Characteristics Augmentation System (MCAS), tidak dicantumkan dalam manual pilot, ia mengatakan bahwa pesawat jenis ini beda dengan Boeing 737 generasi sebelumnya.
 

0 Response to "RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 29 OKTOBER"

Post a Comment