RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 19 OKTOBER

 
19 OKTOBER 1987
TRAGEDI BINTARO, KECELAKAAN KERETA TERBURUK DALAM SEJARAH PERKERETAAPIAN INDONESIA

Tragedi Bintaro adalah sebuah peristiwa tabrakan kereta yang terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987, tabrakan ini melibatkan rangkaian kereta api KA 220 Patas Merak  jurusan Tanah Abang – Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran dengan rangkaian kereta api KA 225 Rangkas jurusan Rangkasbitung–Jakarta Kota yang berangkat dari Stasiun Sudimara. Kecelakaan ini terjadi di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, sehingga disebut sebagai "Tragedi Bintaro". Berdasarkan keterangan resmi dari Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), lokasi kecelakaan berada pada km 17+252 lintas Angke–Tanahabang–Rangkasbitung–Merak. Lokasi tersebut berada pada tikungan S yang diapit Jalan Tol Jakarta–Serpong di barat dan Jalan Tol T.B. Simatupang di timurnya. Lokasi ini juga terletak sekitar 1,5 km di sebelah barat daya TPU Tanah Kusir. 
 
peristiwa-19-oktober-1987-tragedi-bintaro-kecelakaan-kereta-api-terburuk-dalam-sejarah-agniamedia-com
 
Tragedi Bintaro ini tercatat sebagai salah satu kecelakaan paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia dengan mencatatkan 139 tewas dan 254 orang lainnya luka berat. Evakuasi Tragedi Bintaro melibatkan bermacam-macam elemen mulai dari ABRI, pemadam kebakaran, relawan, dan masyarakat umum. Proses evakuasi penumpang kereta api juga menjadi tantangan tersendiri mengingat kerasnya tabrakan head-to-head antar dua rangkaian kereta ini. Penyelidikan setelah kejadian tabrakan dua kereta yang terjadi sekitar pukul 06.45 WIB ini, menunjukkan adanya kelalaian dari pihak petugas Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena tidak ada jalur yang kosong di Stasiun Sudimara. 

Awalnya diterima kabar bahwa KA 220 Tanah Abang - Merak berangkat dari stasiun Kebayoran menuju stasiun Sudimara. Kabar ini mengejutkan petugas di stasiun Sudimara karena ketiga lajur kereta atau sepur di stasiun Sudimara terisi oleh kereta, salah satunya KA 225 Rangkas Bitung - Jakarta Kota. Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Sudimara lalu meminta persilangan kereta dilakukan di Stasiun Kebayoran. Akan tetapi, rupanya terjadi pergantian petugas PPKA di stasiun Kebayoran. PPKA Kebayoran yang baru tidak tahu rencana ini karena kontak setelah itu tidak sampai dengan jelas. Setelah akhirnya tahu dari PPKA Kebayoran bahwa KA 220 terus berangkat menuju Sudimara, PPKA Sudimara berupaya mengosongkan salah satu sepur di Sudimara untuk KA 220. Caranya yaitu dengan langkah darurat sesuai prosedur, memindahkan rangkaian KA 225 di sepur 3 ke sepur 1 yang sebenarnya sudah ada rangkaian tujuh gerbong.

Kabar rencana pemindahan ini naasnya tidak sampai kepada masinis KA 225 Slamet Suradyo. Rencananya, KAA 225 berhenti di Sudimara dulu sampai kereta api dari Jakarta lewat. Slamet lalu membawa kereta dari stasiun Sudimara ke Kebayoran dengan rencana awal, yaitu persilangan kereta di Stasiun Kebayoran. Petugas stasiun Sudimara lalu berlari meniupkan terompet sambil menggerakkan kedua tangan sebagai tanda darurat kereta agar berhenti. Naas Slamet tidak melihat tanda tersebut hingga sebuah kereta datang dari arah timur pada tikungan berjari 407 meter. Sebagian penumpang KA 225 melompat sementara masinis KA 220 berupaya mengerem kereta, namun karena jarak pengereman yang terlalu dekat menyebabkan tabrakan dua kereta ini tak dapat dihindarkan.

Dalam kecelakaan tabrakan dua kereta api pada tragedi Bintaro ini, secara sederhananya terjadi karena KA 220 Patas Merak dan KA 225 di Pondok Betung yang dari arah berlawanan melaju di satu rel yang sama. Kecelakaan ini membuat lokomotif dan gerbong pertama kedua kereta hancur dan merenggut nyawa awak dan penumpangnya. Tragedi Bintaro ini juga terjadi di jam padat penumpang, yaitu sekitar pukul 06.45 WIB. KA 225 Rangkas Bitung - Jakarta Kota sendiri saat itu mengangkut sebanyak 1.887 penumpang, dimana jumlah ini disebut-sebut melebihi kepadatan maksimal 200 persen dari kapasitas kereta. Sementara itu, KA 220 Tanah Abang - Merak masih dalam batas kapasitas normal, yaitu 72,6 persen atau sekitar 478 penumpang yang duduk di kursi penumpang masing-masing. 

Atas peristiwa ini, Masinis KA 225 Slamet Suradio akhirnya divonis hukuman 5 tahun penjara dan harus kehilangan pekerjaannya sebagai masinis. Ia ditahan di Lapas Cipinang dan baru bebas pada tahun 1993. Sejak saat itu, Suradio sempat hanya apel di kantornya karena sudah dibebastugaskan. Lalu pada tahun 1994, Suradio dipecat dari jabatannya sebagai masinis dan Nomor Induk Pegawai Perkeretaapiannya, 120035237, dicabut pada 1996 oleh Departemen Perhubungan Indonesia. Suradio juga tidak diberikan uang pensiun setelah ia dipecat. Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Syafei harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun. Sedangkan PPKA Djamhari dan Umriyadi dihukum 10 bulan penjara

Tragedi mengerikan inipun mendapatperhatian dari banyak kalangan bahkan sempat menyita perhatian publik dunia. Musisi kenamaan Iwan Fals mengenang tragedi ini dengan menciptakan lagu "1910" (diucapkan sembilan belas-sepuluh) untuk mengenang tragedi ini. Lagu ini muncul pertama kali dalam album dengan judul yang sama. Ebiet G. Ade juga menciptakan lagu "Masih Ada Waktu" yang kemudian dirilis pertama kali dalam album Sketsa Rembulan Emas dan direkam ulang dalam album dengan judul yang sama. Peristiwa Bintaro ini juga diangkat kedalam film layar lebar dengan judul "Tragedi Bintaro tahun 1989", film ini diperankan oleh Ferry Octora sebagai Juned, tokoh utama dalam film ini.

0 Response to "RANGKUMAN PERISTIWA DI TANGGAL 19 OKTOBER"

Post a Comment